Ketika Ibadah Berubah Duka di Ciomas
"Bangunan bisa roboh, tapi doa dan kasih tak akan runtuh."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Tiba-tiba lantai dua bergetar hebat, diikuti suara "bruk" yang memekakkan telinga, membuat jamaah seketika terperanjat. Tubuh-tubuh terpental bersama kayu, besi, dan serpihan beton, bercampur dengan teriakan histeris serta tangisan yang memilukan. Dalam hitungan detik, ruang penuh doa itu berubah menjadi puing, debu, dan jeritan mencekam.
Bagaimana mungkin sebuah acara keagamaan yang penuh doa berubah menjadi lautan tangis? Pada Minggu, 7 September 2025, Kompas.com menurunkan laporan berjudul "Balita Jadi Korban Ambruknya Majelis Taklim Ashobiyyah Bogor, 3 Tewas dan Puluhan Luka". Peristiwa di Ciomas, Bogor, ini mengguncang batin banyak orang, sebab rumah ibadah yang semestinya aman justru menjadi sumber petaka.
Deskripsi tragedi itu menyajikan ironi yang getir. Di tengah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang biasanya penuh syukur dan keberkahan, bangunan lantai dua majelis taklim tiba-tiba ambruk, menelan korban jiwa dan melukai puluhan jamaah. Seorang balita menjadi simbol rapuhnya keamanan fasilitas publik ketika pengawasan dan konstruksi diabaikan.
Penulis tertarik mengangkat isu ini bukan hanya karena nilai beritanya, tetapi juga relevansinya dengan kehidupan sosial kita hari ini. Di banyak daerah, majelis taklim tumbuh dengan dukungan warga, namun kerap luput dari standar teknis bangunan yang layak. Maka, tragedi Ciomas menuntut kita untuk bertanya lebih dalam: sampai kapan kita abai pada aspek keselamatan bersama?
1. Duka di Tengah Zikir
Suasana pengajian pada awalnya dipenuhi dengan lantunan shalawat dan doa. Namun dalam hitungan detik, suara lirih zikir bercampur dengan jeritan kesakitan dan kepanikan. Tiga nyawa melayang, puluhan lainnya menderita luka, termasuk seorang balita yang mengalami cedera kepala serius. Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat luas.