Peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya rasa aman di ruang-ruang ibadah. Banyak orang datang dengan harapan mendapatkan ketenangan, tetapi justru pulang dengan trauma. Ketika ibadah berubah menjadi bencana, maka ada sesuatu yang salah dalam cara kita memelihara fasilitas publik. Duka di Ciomas seolah menjadi peringatan keras bagi kita semua.
Refleksi ini menegaskan bahwa ibadah tidak hanya membutuhkan kesungguhan spiritual, tetapi juga jaminan keselamatan fisik. Keimanan umat tak boleh diuji dengan kelalaian teknis yang sebenarnya bisa dicegah. "Keamanan adalah bagian dari ibadah," ungkap seorang tokoh masyarakat setempat. Kata-kata itu sederhana, tetapi mengandung makna yang dalam.
2. Infrastruktur yang Abai, Nyawa Jadi Taruhan
Bangunan Majelis Taklim Ashobiyyah baru digunakan beberapa bulan sebelum ambruk. Lantai bawah dirancang untuk santri, sementara lantai dua digunakan sebagai aula pengajian. Namun, pada hari peringatan Maulid Nabi, ratusan jamaah memadati lantai dua yang ternyata tak mampu menahan beban. Seketika, struktur yang rapuh itu roboh.
Tragedi ini memperlihatkan persoalan klasik: pembangunan cepat tanpa perhitungan matang. Banyak gedung keagamaan dibangun dengan swadaya masyarakat, tetapi seringkali mengabaikan standar konstruksi yang kokoh. Masyarakat terbuai oleh semangat gotong royong, namun lupa pentingnya pengawasan teknis. Akhirnya, nyawa menjadi taruhan dari kelalaian bersama.
Kasus Ciomas semestinya mendorong evaluasi menyeluruh. Pemerintah daerah, lembaga keagamaan, dan masyarakat perlu membangun kesadaran bahwa ibadah juga membutuhkan ruang yang aman. Kegagalan memastikan hal ini sama saja dengan mengabaikan keselamatan jamaah yang datang dengan penuh keikhlasan.
3. Pemerintah Daerah dan Tanggung Jawab Moral
Pertanyaan besar kini muncul: di mana peran pemerintah daerah dalam memastikan keamanan fasilitas keagamaan? BPBD dan aparat kepolisian memang hadir pasca-kejadian, namun pencegahan jauh lebih penting. Inspeksi bangunan publik semestinya menjadi agenda rutin, bukan sekadar respons setelah musibah. Sayangnya, langkah itu sering diabaikan.
Tanggung jawab moral tidak bisa hanya diletakkan di pundak masyarakat yang membangun. Negara berkewajiban hadir dengan regulasi, pendampingan teknis, serta edukasi tentang standar keamanan. Ketika majelis taklim tumbuh subur, pengawasan pun harus sejalan, agar tragedi seperti Ciomas tidak berulang. Dalam konteks ini, pemerintah daerah tidak boleh cuci tangan.
Kehadiran pemerintah dalam urusan kecil seperti izin bangunan justru punya dampak besar. Sebab, izin bukan sekadar formalitas administratif, melainkan jaminan bahwa bangunan layak digunakan. Ketika fungsi ini gagal, yang lahir adalah bencana yang meluluhlantakkan keluarga, masyarakat, bahkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.