Beberapa tahun belakangan ini, komputer makin canggih. Sekarang kita bisa ngobrol sama AI, suruh dia bikin lagu, nulis artikel, bahkan bantu diagnosis penyakit. Lalu muncul pertanyaan yang makin sering kita dengar "masihkah otak manusia lebih hebat dari komputer?"
Kalau dilihat dari kecepatan, komputer memang juara. Superkomputer seperti "Frontier" buatan Amerika bisa melakukan lebih dari satu miliar miliar operasi matematika per detik. Bayangin, kerjaan rumit yang bisa bikin kita pusing tujuh keliling bisa diselesaikan komputer dalam waktu sepersekian detik.
Tapi, otak manusia itu bukan cuma soal kecepatan.
Coba pikir, kita bisa jatuh cinta hanya karena senyuman, bisa tahu seseorang sedih hanya dari nada suaranya, bisa menciptakan lagu dari kenangan masa kecil. Hal-hal kayak gitu gak bisa diproses komputer, karena komputer gak punya rasa, gak punya pengalaman hidup.
Otak kita memang gak secepat komputer dalam hitungan. Tapi kita punya sesuatu yang gak bisa dikodekan. Intuisi, emosi, dan imajinasi.
Manusia bisa belajar hanya dari satu pengalaman. Misalnya, kalau kamu pernah kepeleset di lantai licin, besoknya kamu pasti lebih hati-hati. Sementara AI? Dia harus dikasih ribuan data dan diuji berkali-kali sebelum bisa belajar hal yang sama. Dan kalau konteksnya sedikit berubah, bisa jadi dia gagal total.
Komputer juga butuh energi besar. Superkomputer butuh daya setara ratusan rumah. Otak kita? Cuma butuh sekitar 20 watt setara lampu bohlam tapi bisa mikir, ngerasa, dan bermimpi sekaligus.
Jadi... siapa yang lebih hebat?
Mungkin bukan soal siapa yang lebih unggul. Tapi siapa yang bisa berkolaborasi lebih baik. Otak manusia dan komputer sebenarnya bisa jadi pasangan sempurna. Kita bisa pakai kekuatan mesin untuk bantu hal-hal teknis, sambil tetap mengandalkan nurani, akal sehat, dan rasa dalam membuat keputusan.
Karena pada akhirnya, mesin bisa punya otak. Tapi manusia, punya hati.
Dan selama kita punya hati, logika kita akan selalu lebih bermakna daripada sekadar kecepatan.