Belakangan ini, Jawa Barat menyaksikan gelombang fenomena di mana para pejabat publik tiba-tiba menampilkan diri dengan simbol-simbol kesundaan, seperti iket kepala, pangsi, atau partisipasi dalam ritual adat dan budaya tanpa memahami literasi historis yang kuat.
Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah praktik ini didasari oleh pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai budaya Sunda, atau sekadar ikut-ikutan tren demi pencitraan politik? Gejala ini mengindikasikan adanya "cultural commodification" (komodifikasi budaya), di mana simbol-simbol luhur diadopsi secara dangkal untuk kepentingan legitimasi kekuasaan (Comaroff & Comaroff, 2009).
Dalam konteks Jawa Barat, di mana budaya Sunda memiliki akar filosofis yang kompleks---seperti konsep "silih asah, silih asih, silih asuh"---praktik seremonial yang minim literasi justru berisiko mereduksi makna budaya menjadi sekadar aksesori politik (Rosidi, 2011).
Fenomena ini dapat dikaji lebih mendalam melalui teori "mimesis" (Taussig, 1993) dan "hegemoni budaya" (Gramsci, 1971).
Taussig (1993) menyatakan bahwa mimesis (peniruan) bukan sekadar kopi paste, tetapi proses dinamis dimana peniruan justru mengubah makna asli dari yang ditiru. Taussig menekankan bahwa mimesis sering digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menguasai atau mengkomodifikasi yang lain.
Sementara Gramsci (1971) mendefinisikan bahwa hegemoni budaya adalah dominasi kelompok elite yang tidak hanya melalui paksaan, tetapi juga konsensus dengan mengontrol nilai-nilai budaya. Masyarakat menganggap praktik budaya tertentu sebagai "wajar" karena dihegemoni oleh elite.
Dalam konteks Jawa Barat ,ketika Gubernur sebagai "pupuhu" (pemimpin) mempopulerkan simbol Sunda dan diikuti pejabat lain, hal itu mencerminkan hegemoni---simbol budaya jadi alat legitimasi politik yang dianggap "alami" oleh publik, meski sebenarnya bersifat politis.
Para pejabat tidak hanya meniru simbol-simbol budaya Sunda untuk mendapatkan "cultural capital" (Bourdieu, 1986), tetapi juga menunjukkan ketergantungan pada figur otoritas---dalam hal ini Gubernur Jawa Barat sebagai "pupuhu" yang menjadi trendsetter dalam penggunaan simbol-simbol tersebut.
Wahyudin (2022) menyebut dinamika ini sebagai bagian dari "spectacle politics" di Jawa Barat, di mana elite politik meniru ritual budaya untuk membangun citra kesundaan yang artifisial. Padahal, menurut Ekadjati (2005), pusaka dan tradisi Sunda seharusnya dipahami dalam kerangka filosofis "tri tangtu di buana(keseimbangan kosmologis), bukan sekadar alat pencitraan.
Tri Tangtu di Buana "adalah filosofi Sunda tentang tiga prinsip keseimbangan kosmik yang meliputi "Buruan"(dunia material), "Pancer" (kesadaran manusia), dan "Pohaci" (aspek spiritual), menekankan harmoni antara manusia, alam, dan dimensi transendental (Ekadjati, 2005).
Konsep ini menuntut integritas holistik---tidak hanya pada simbol lahiriah (Buruan), tetapi juga pemahaman filosofis (Pancer) dan penghayatan nilai spiritual (Pohaci), sehingga kritik terhadap pejabat yang hanya mengadopsi atribut Sunda secara seremonial tanpa mendalami esensinya menjadi relevan.