Sementara itu,Permana (2018) dalam Budaya Politik Lokal di Jawa Barat menegaskan bahwa minimnya literasi historis pejabat Jawa Barat dalam mengadopsi simbol budaya Sunda (seperti iket atau ritual adat) berpotensi mengikis makna otentik budaya luhur melalui desakralisasi simbol sakral (contoh: kujang yang direduksi jadi aksesori politik) dan dekomposisi nilai filosofis (seperti silih asih atau tri tangtu di buana), sekaligus memperkuat stereotip simplistik identitas Sunda dengan menyempitkan keragaman budaya hanya pada atribut lahiriah (pangsi = Sunda) atau narasi klise ("Sunda yang religius") untuk kepentingan pencitraan, yang berujung pada pembentukan persepsi monolitik yang mengabaikan kompleksitas masalah sosial Jawa Barat. Akibatnya lahirlah persepsi publik yang monolitik tentang Sunda, sehingga isu-isu kompleks (seperti ketimpangan ekonomi atau degradasi lingkungan di Jawa Barat tertutupi oleh romantisasi budaya.
Dengan demikian, fenomena ini bukan hanya soal politik identitas, melainkan juga bentuk "cultural appropriation" yang direproduksi oleh struktur kekuasaan (Spivak, 1988).
Revitalisasi budaya Sunda oleh pemimpin Jabar harus beralih dari politik pencitraan menuju internalisasi nilai filosofis melalui empat pilar aksi (edukasi, kolaborasi, proteksi, dan transformasi fungsi budaya), sehingga simbol tidak mati sebagai alat kuasa dan politik identitas,tetapi hidup dalam praktik bermakna yang merefleksikan keseimbangan kosmik Sunda (Buruan-Pancer-Pohaci).
Jika tren yang tengah ditonjolkan oleh Gubernur Jawa Barat saat ini terus berlanjut tanpa pendekatan empat pilar tersebut, bukan tidak mungkin justru  identitas kesundaan akan semakin tercabut dari esensinya dan hanya menjadi alat retorika kekuasaan semata(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI