Hari ini, Kamis 16 Oktober 2025, nasib pahit harus diterima oleh Patrick Kluivert. Pelatih asal Belanda itu resmi dipecat oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), mengakhiri masa baktinya yang singkat di kursi kepelatihan Timnas Senior Indonesia. Keputusan ini diambil menyusul kegagalan Timnas Indonesia untuk melaju ke Piala Dunia 2026. Alih-alih lolos, skuad Garuda bahkan tidak mampu menembus Round 5 Kualifikasi Piala Dunia.
Kegagalan total ini terjadi setelah serangkaian hasil buruk di Round 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026, khususnya pada laga-laga penentu yang digelar di Arab Saudi. Timnas Indonesia menelan kekalahan tipis 3-2 dari Arab Saudi, dan yang paling menyesakkan, ditumbangkan oleh Irak dengan skor 1-0. Hasil nihil poin di babak krusial ini menjadi puncak dari performa yang jauh dari harapan.
Meskipun Kluivert dan tim kepelatihan Belanda-nya datang dengan gembar-gembor menjanjikan sentuhan sepak bola modern ala Eropa, realitas di lapangan berkata lain. Sembilan bulan kepemimpinan Kluivert hanya dihiasi tiga kemenangan, satu seri, dan empat kekalahan dari total delapan pertandingan. Jelas, rapor ini jauh dari kata memuaskan, apalagi untuk target sekelas Piala Dunia.
Evaluasi Mendalam Kegagalan Patrick Kluivert
Kegagalan Kluivert bukan semata-mata soal hasil akhir, melainkan juga masalah fundamental dalam strategi dan adaptasi. Ekspektasi publik sangat tinggi mengingat nama besarnya sebagai legenda Barcelona, namun pengalamannya yang minim sebagai pelatih kepala tim nasional senior level A-Match terbukti menjadi batu sandungan.
Salah satu kritik utama yang dilayangkan adalah kurangnya pemahaman Kluivert terhadap karakter dan budaya sepak bola Indonesia. Ia dinilai gagal mengoptimalkan potensi pemain naturalisasi yang telah ada, serta tidak mampu menyatukan visi permainan yang solid antara pemain lokal dan pemain diaspora. Taktik yang diterapkan terkesan kaku dan tidak fleksibel menghadapi variasi permainan tim-tim Asia.
Selain itu, manajemen tim dan komunikasi internal Kluivert juga disorot. Ketidakhadiran dirinya dalam beberapa agenda penting, termasuk kritik terkait minimnya interaksi dengan suporter pasca kekalahan dari Irak, semakin memperburuk citranya. Kehilangan kepercayaan, baik dari pemain maupun dari publik, menjadi faktor non-teknis yang mempercepat pemecatannya.
Keputusan PSSI untuk mengakhiri kontrak melalui mekanisme mutual termination menunjukkan adanya kesadaran dari kedua belah pihak bahwa kolaborasi ini tidak berjalan sesuai rencana. Meskipun di satu sisi PSSI patut dipuji karena berani mengambil langkah tegas, di sisi lain, ini adalah pengulangan sejarah kegagalan dalam memilih nakhoda Timnas.
Kegagalan ini mestinya menjadi pelajaran berharga bagi PSSI. Pergantian pelatih dengan durasi yang sangat singkat menunjukkan perencanaan jangka panjang yang rapuh. Federasi tidak boleh lagi hanya tergiur pada "nama besar" tanpa mempertimbangkan rekam jejak kepelatihan dan kemampuan adaptasi calon pelatih terhadap iklim sepak bola Asia Tenggara dan Asia.
Sembilan bulan yang terbuang percuma ini mengharuskan PSSI untuk segera berbenah. Pencarian pelatih baru tidak bisa dilakukan secara serampangan. Kali ini, PSSI wajib menaruh perhatian ekstra pada kriteria yang benar-benar esensial, demi memastikan bahwa kursi panas pelatih Timnas diisi oleh sosok yang tepat, bukan sekadar pelatih yang punya nama mentereng.
5 Syarat Mutlak Pelatih Timnas Indonesia Masa Depan