"Demi konten, semua bisa!" Kalimat ini mungkin terdengar bercanda, tapi kini menjadi semboyan baru di era digital. Dari aksi ekstrem demi challenge viral, prank konyol di ruang publik, sampai drama yang sengaja dibuat untuk sensasi semua dilakukan demi satu tujuan: terkenal secepat mungkin.
Setiap hari, media sosial kita dipenuhi wajah-wajah baru yang mendadak viral, lalu menghilang seminggu kemudian. Popularitas kini seperti mie instan: cepat disajikan, cepat pula dilupakan. Fenomena ini bukan hanya tentang hiburan, tetapi tentang bagaimana masyarakat modern perlahan terjebak dalam budaya serba cepat budaya yang bisa dijelaskan lewat teori McDonalisasi dari sosiolog George Ritzer.
McDonalisasi: Teori yang Menjelaskan Dunia Serba Instan
George Ritzer (1993) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip restoran cepat saji seperti McDonald's efisiensi, kalkulabilitas, prediktabilitas, dan kontrol  kini telah merasuki hampir semua aspek kehidupan modern. Kini, prinsip itu tak hanya berlaku di dapur cepat saji, tetapi juga di dunia media sosial kita:
Efisiensi: Popularitas bisa dicapai dengan cara paling cepat. Tak perlu karya besar, cukup ide sensasional atau kontroversial.
Kalkulabilitas: Nilai diri diukur dari angka  berapa likes, views, atau followers yang dimiliki.
Prediktabilitas: Pola konten makin mirip  challenge, prank, hingga drama yang mudah ditebak.
Kontrol: Algoritma menjadi manajer tak kasat mata yang menentukan siapa yang akan naik ke puncak viralitas.
Dengan kata lain, dunia digital kini beroperasi layaknya pabrik cepat saji: cepat, praktis, dan seragam. Semua dirancang agar mudah dikonsumsi, walau sering kali kehilangan makna sosial dan refleksi kemanusiaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat modern tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga mengonsumsi pengalaman sosial.Â
Kita tidak sekadar menonton video, tapi juga menikmati sensasi menjadi bagian dari tren. Hal ini membuat batas antara "kebutuhan sosial" dan "keinginan untuk eksis" menjadi kabur. Dalam konteks Ritzer, inilah bentuk nyata dari rasionalisasi yang mendorong efisiensi, namun mengikis nilai-nilai humanistik.
Netizen Sebagai "Pekerja" di Pabrik Viralitas
Yang menarik, para pengguna media sosial sebenarnya tidak hanya menjadi penonton, tapi juga pekerja dalam pabrik viralitas ini.
Setiap kali seseorang mengunggah video, menulis caption, atau ikut tren baru, ia secara tak sadar sedang "bekerja" memproduksi konten untuk sistem digital yang diatur algoritma.
Masalahnya, sistem ini mendorong perilaku instan. Banyak orang berlomba-lomba melakukan hal-hal ekstrem demi views tanpa memikirkan dampak sosial. Konten edukatif kalah pamor dari sensasi, karena sistem lebih menghargai yang cepat dan ramai daripada yang bermakna.
Ritzer menyebut ini sebagai "irasionalitas dari rasionalitas" ketika sistem yang tampak efisien justru menghasilkan perilaku tidak rasional, bahkan merugikan secara sosial dan moral. Kita bisa melihatnya dari maraknya fenomena "konten prank sosial" yang tidak jarang berujung kekerasan atau pelecehan, hanya demi menambah engagement.Â
Ironisnya, publik ikut menonton, menertawakan, bahkan membagikan, tanpa berpikir panjang tentang dampak moralnya. Inilah contoh nyata masyarakat yang hidup dalam sistem cepat saji: reaktif, cepat, tapi minim refleksi.
Refleksi Sosial: Dari Budaya Viral Menuju Budaya Bermakna
Media sosial seharusnya menjadi ruang berbagi gagasan, bukan sekadar ajang pamer sensasi. Tapi kini, banyak pengguna terjebak dalam siklus viralitas yang membuat makna tenggelam di balik angka. Pertanyaannya, apakah semua yang viral itu penting?