Setiap tanggal 1 Mei, genderang Hari Buruh ditabuh di seluruh penjuru Indonesia. Jalanan mungkin dipenuhi massa yang berorasi, spanduk dibentangkan, dan seruan perjuangan menggema menuntut hak-hak pekerja. Momen ini menjadi panggung tahunan bagi serikat buruh dan pekerja formal untuk menyuarakan aspirasi mereka terkait upah, kondisi kerja, dan jaminan sosial yang lebih baik. Hari Buruh adalah pengingat bahwa kemajuan hak-hak pekerja adalah hasil dari perjuangan panjang yang tak kenal lelah.
Dalam narasi Hari Buruh yang dominan, sosok "buruh" yang terbayang di benak publik seringkali adalah pekerja pabrik, karyawan kantoran berstatus tetap, atau pegawai formal lainnya yang terikat kontrak kerja jelas dan tergabung dalam organisasi pekerja. Mereka adalah kelompok yang memiliki struktur untuk bernegosiasi, melobi, dan melakukan aksi kolektif demi perbaikan nasib. Perjuangan mereka, yang terorganisir, seringkali mendapat sorotan utama media dan perhatian pemerintah.
Namun, di balik hiruk pikuk perayaan dan tuntutan di Hari Buruh, ada segmen besar angkatan kerja Indonesia yang nasibnya masih sering luput dari perhatian memadai dalam diskursus publik, mereka yang bisa disebut sebagai "buruh 'Non Lamaran Kerja'". Istilah ini merujuk pada jutaan pekerja informal yang tidak melalui proses melamar kerja formal, menandatangani kontrak baku, atau terdaftar sebagai karyawan tetap di sebuah institusi mapan.
Siapa saja mereka ini? Mereka adalah pedagang kaki lima yang berjibaku dengan cuaca dan aturan, petani kecil yang menggantungkan hidup pada hasil panen yang tak menentu, buruh tani yang membantu para petani desa, nelayan tradisional yang bertaruh nyawa di lautan, pekerja rumah tangga tanpa perlindungan hukum memadai, pengemudi ojek atau taksi harian, pekerja bangunan informal, buruh tani harian, atau mereka yang bekerja di berbagai sektor usaha mikro dan kecil tanpa legalitas formal.
Jumlah "buruh 'Non Lamaran Kerja'" ini tidak main-main, bahkan disinyalir merupakan mayoritas dari total angkatan kerja di Indonesia. Mereka tersebar di seluruh pelosok negeri, dari perkotaan hingga pedesaan, menjalankan berbagai jenis usaha dan pekerjaan yang menjadi urat nadi ekonomi di tingkat paling dasar. Kontribusi mereka terhadap kelangsungan ekonomi lokal dan nasional sangatlah besar, meskipun seringkali tidak terhitung dalam statistik formal.
Sayangnya, perjuangan para "buruh 'Non Lamaran Kerja'" ini cenderung kurang terwakili dalam "gempita" Hari Buruh. Tuntutan mereka tidak selalu terartikulasi dalam narasi besar gerakan buruh formal. Mereka adalah wajah-wajah yang mungkin tidak ikut long march di jalan utama kota, tetapi perjuangan mereka berlangsung setiap hari, dalam senyap, demi kelangsungan hidup dan sesuap nasi bagi keluarga.
Inti dari tantangan yang dihadapi "buruh 'Non Lamaran Kerja'" adalah ketiadaan hubungan kerja formal yang stabil. Ini berarti mereka tidak memiliki kepastian kerja, hari ini mereka mungkin punya penghasilan, besok belum tentu. Tidak ada jaminan upah minimum yang pasti, apalagi kenaikan upah berkala. Pendapatan mereka sangat fluktuatif, tergantung pada kondisi pasar, cuaca, atau faktor eksternal lainnya yang sulit dikontrol.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya akses terhadap jaminan sosial. Sebagian besar dari mereka tidak tercakup dalam program BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan secara mandiri atau melalui fasilitasi pemberi kerja (karena pemberi kerjanya pun seringkali "informal"). Sakit sedikit saja bisa berarti kehilangan pendapatan total dan terjerat utang untuk biaya pengobatan. Masa tua pun dibayang-bayangi ketidakpastian finansial.
Selain itu, kondisi kerja mereka seringkali jauh dari standar keselamatan dan kesehatan kerja yang layak. Pedagang kaki lima berhadapan dengan risiko lalu lintas dan sanitasi buruk; nelayan tradisional menghadapi bahaya laut tanpa peralatan memadai; pekerja bangunan informal rentan kecelakaan; dan pekerja rumah tangga bisa menghadapi jam kerja tak terbatas dan minimnya istirahat. Tidak ada mekanisme pengawasan yang efektif untuk melindungi mereka.
Kerentanan terhadap eksploitasi juga sangat tinggi. Karena tidak terikat kontrak dan seringkali tidak memiliki kekuatan posisi tawar, "buruh 'Non Lamaran Kerja'" mudah menjadi korban praktik tidak adil dari pihak yang mempekerjakan atau memanfaatkan jasa mereka. Upah yang ditahan, jam kerja yang dipaksakan, hingga perlakuan semena-mena bisa terjadi tanpa adanya saluran pengaduan atau perlindungan hukum yang jelas.
Secara makro, kerentanan jutaan "buruh 'Non Lamaran Kerja'" ini memiliki dampak signifikan terhadap kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Mereka adalah kelompok yang paling terpukul saat terjadi krisis ekonomi atau bencana. Ketiadaan jaring pengaman sosial yang kuat membuat mereka mudah tergelincir ke jurang kemiskinan, menciptakan beban sosial yang kompleks bagi negara.