Di negeri ini, ada lembaga yang namanya terdengar begitu mulia: Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tugasnya terdengar indah, mengelola royalti demi kesejahteraan para pencipta lagu dan pemilik hak terkait. Sebuah misi yang, di atas kertas, tak mungkin ada yang menolak.
Tapi di lapangan, misi mulia itu kini terjebak di dalam badai polemik. Dan yang lebih menarik, LMKN tampaknya memilih untuk terus berjalan, melawan arus.
Royalti untuk Semua, Termasuk Suara Burung
Polemik ini mulai ramai saat publik mendengar kabar: bahkan suara burung pun bisa kena royalti. Bukan metafora ini nyata. Bayangkan Anda duduk di kafe, menyeruput kopi, dan ada burung berkicau di latar belakang. Jika kicauan itu berasal dari rekaman lagu atau karya cipta, LMKN menilai, tetap harus bayar.
Di saat sebagian pencipta lagu dengan sadar menggratiskan karyanya demi kebebasan penggunaan, LMKN punya pandangan lain: gratis itu tidak benar-benar gratis. Katanya, meski pencipta berkata "silakan gunakan tanpa bayar", prosedur hukum tetap harus berjalan, dan ada mekanisme royalti yang harus dihormati.
Mungkin niatnya adalah edukasi publik tentang penghargaan pada hak cipta. Tapi sayangnya, pesan itu tersampaikan seperti petugas parkir yang memungut biaya di halaman rumah orang lain.
Melawan Suara Masyarakat
Masalah terbesar dari kebijakan yang terkesan memaksa ini bukan sekadar teknis, tapi psikologis. Di tengah masyarakat yang masih rendah kesadarannya soal hak cipta, mengedepankan logika "bayar dulu, debat belakangan" malah memicu antipati.
Ini ibarat ingin mengajarkan sopan santun dengan cara menampar. Bukannya paham, orang justru sakit hati.