Lihat ke Halaman Asli

Joko Yuliyanto

pendiri komunitas Seniman NU

Muaknya Nonton Sepak Bola Nasional

Diperbarui: 16 April 2021   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: bolalob.com

Setalah setahun libur kompetisi, pagelaran olahraga paling digemari penduduk bumi (sepak bola) kembali dihelat melalui ajang Piala Menpora. Dimulai tanggal 21 Maret 2021 dan akan berakhir 25 April 2021, Piala Menpora menjanjikan hadiah 4,65 miliar untuk tim, pemain, dan tentunya sang pengadil lapangan. Dimainkan di 4 kota beda provinsi (Solo, Bandung, Sleman, dan Malang) dan dibagi menjadi 4 grup yang terdiri dari 4-5 tim.

Piala Menpora seolah menjadi oase hiburan lain di tengah berita-berita seputar Covid-19 dan sinteron Ikatan Cinta. Patut dimaklumi, setahun lebih penggemar sepak bola tidak nangkring di stadion menyanyikan mars klub kota kebanggaan. Merindukan masa-masa saling lempar batu, berita meninggalnya suporter yang nekat masuk ke kandang lawan, drama-drama mafia sepak bola, merusak kursi dan pagar stadion ketika timnya kalah, dan misuhi wasit yang hobi disogok.

Setidaknya Piala Menpora memberikan secerca harapan bagi pelaku sepak bola agar tidak mati kelaparan karena tidak punya penghasilan. Patut dimaklumi, karena sepak bola luar negeri masih tetap berjalan meski dengan keterbatasan seperti, minimnya transfer pemain, kosongnya kursi penonton, dan beberapa agenda internasional yang terpaksa diundur.

Meskipun masih tidak boleh ditonton langsung di stadion, layaran televisi cukup membuat pecinta sepak bola kembali bergairah untuk mendukung tim favorit memengkan pertandingan dan mendoakan tim rival kalah dengan tim-tim underdog. Namun di tengah antusiasme sepak bola nasional, masih ada hal-hal yang mebuat muak para pengamat sepak bola nasional.

Budaya Mengulur Waktu

Tidak seperti pertandingan di Premier League Inggris, La Liga Spanyol, Liga Serie A Italia, ataupun Bundesliga Jerman, sepak bola Indonesia yang hampir setiap tahun gonta-ganti sponsor utama itu kurang bisa dinikmati sebagai media hiburan. Seni sepak bola berubah menjadi prinsip "menang harga mati". Alhasil, banyak pemain sepak bola nasional yang ujug-ujug pintar bermain teater di lapangan hijau.

Budaya mengulur waktu sepertinya sudah menjadi ciri khas sepak bola Indonesia ketika timnya menang. Tidak peduli tim unggulan atau sebaliknya, asalkan sudah menang, mengulur waktu wajib dilakukan. Tidak mau mengambil risiko bila nanti harus kebobolan di sepersekian detik peluit panjang.

Biasanya, dimulai dari pelatih yang melakukan pergantian pemain di sisa pertandingan. Pemain yang diganti akan "berjalan di tempat" sambil menunggu pemain lawan mendorong-dorong agar segera keluar lapangan. Tutorial berikutnya adalah dengan tiba-tiba mati di tengah lapangan. Tanpa benturan atau kontak fisik, pemain biasanya beralasan kram karena merasa sudah sehari berlarian di atas lapangan. Harapannya ada peluit fair play yang tujuannya menghabiskan waktu pertandingan.

Aktor terakhir adalah kiper (penjaga gawang). Dengan jatuh sakitnya kiper, maka hukumnya sudah fardhu 'ain untuk menghentikan permainan. Menariknya, sakitnya kiper tidak diiringi dengan persiapan kiper cadangan untuk bersiap menggantikan. Jadi ya habis satu batang rokok menunggu kiper bangkit dari jatuh akibat senggolan rambut dengan pemain lawan.

Hal lain adalah menimang bola (ragu-ragu menangkap) sambil menunggu pemain lawan untuk diprank. Ketika sudah dekat, kiper menangkap bola sambil menjatuhkan badan seolah habis melakukan penyelamatan gemilang. Kiper adalah salah satu aktor antagonis dari sepak bola yang ketika nonton bikin gregetan matiin TV.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline