Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Menganalisis Deja vu dengan Rasa

Diperbarui: 31 Agustus 2021   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deja vu. Sumber: https://piamannikko.files.wordpress.com/2019/02/pia_mannikko_deja_vu_montrouge_03s.jpg?w=1024

Deja vu berasal dari bahasa Perancis yang bermakna perasaan seseorang bahwa pada masa sebelumnya dia telah hidup, dia mundur dalam lini masa melampaui masa sekarang.

Frasa Prancis ini diterjemahkan secara harfiah menjadi "sudah terlihat"  dan bisa juga ditafsirkan dalam konteks paranormal, namun pendekatan ilmiah mainstream menolak penjelasan deja vu sebagai "prekognisi" atau "nubuat" dan lebih menerima deja vu sebagai sebuah anomali memori, dimana, terlepas dari rasa ingatan yang kuat, namun waktu, tempat, dan konteks praktis dari pengalaman "sebelumnya" itu tidak pasti atau diyakini tidak mungkin.

Menurut saya, mainstream yang dimaksudkan dalam kalimat di atas tentunya adalah "mainstream Barat."

Di satu sisi, mereka menunjukkan ketidakyakinan akan "mistik," dan di sisi lain, dengan pendekatan ilmiah yang terlihat sangat tidak memadai, mereka mencoba untuk meneliti dan memahami fenomena paranormal, misalnya dalam sekuel-sekuel film The Conjuring.

Lin Yutang pernah menuliskan bahwa semakin seorang ahli fisiologi mencoba untuk menganalisis dan mempelajari proses biofisika dan biokimia dari fisiologi manusia, semakin banyak hal yang membuatnya terheran-heran. Keheranan itu sedemikian rupa sampai-sampai terkadang memaksa seorang ahli fisiologi yang berpikiran lebih terbuka untuk menerima pandangan hidup mistik, misalnya Dr. Alexis Carrel.

Tak mengherankan jika sampai sekarang ini sudah semakin banyak fisikawan Barat yang merambah ke penelitian mistik, karena mereka menyadari bahwa tatkala mencapai kedalaman tertentu, sains pun mulai bersinggungan dengan mistik itu.

Kali ini saya mau mengajak para pembaca untuk memaknai deja vu tidak dalam konteks paranormal, tidak pula dalam konteks ilmiah, tapi dengan menggunakan rasa.

Ini serupa dengan pendekatan yang dilakukan oleh kita orang Timur yang memberitahu  bahwa rasa gula itu manis setelah kita mencicipinya, sedangkan orang Barat melakukan penelitian panjang lebar dan melelahkan di laboratorium mereka yang dilengkapi peralatan yang supercanggih, hanya untuk memberitahu kita kesimpulan yang sama: rasa gula itu manis.

Sebagai bahan kajian, kita ambil sebuah puisi berikut (frasa deja vu disambung menjadi 1 kata, tidak masalah):
Nano Puisi: Dejavu di Ambang Sore

Bait 1:
dejavu di ambang sore
timbunan batu sungai
ilalang setinggi badai
debu kelabu bau sore

Ambang sore (senja) diselimuti oleh atmosfer mistis, dan sebagian orangtua biasa  mengingatkan anak-anak agar tidak keluyuran pada waktu ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline