Lihat ke Halaman Asli

Sigit Purwanto Ipung

CEO and Founder Tempe Pinilih

Lapar Ngamuk, Kenyang Ngantuk

Diperbarui: 11 Oktober 2025   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ngantuk

Inilah dua kutub ekstrem yang tanpa sadar menguasai hari-hari kita, sebuah ritme purba yang mengatur pasang surut emosi dan produktivitas kita. Lapar dan kenyang, keduanya adalah penguasa absolut yang bergiliran menduduki takhta kesadaran kita, dan kita, sering kali, hanyalah rakyat jelata yang patuh pada titahnya.

Saat lapar, kita adalah sumbu pendek yang siap meledak. Setiap gangguan kecil terasa seperti percikan api yang disengaja. Suara ketikan papan tik rekan kerja yang terlalu keras, notifikasi ponsel yang berbunyi tanpa henti, atau bahkan pertanyaan sepele seperti "Apa kabar?" bisa terasa seperti sebuah provokasi. 

Dunia di luar sana seolah berkonspirasi untuk menguji kesabaran kita yang sudah setipis kertas. Akal sehat dan logika menyerah tanpa syarat pada amarah yang dipicu oleh perut kosong. Gula darah yang anjlok tidak hanya membuat tubuh lemas, tetapi juga membajak pikiran, mengubah kita menjadi versi terburuk dari diri sendiri.Kita menjadi reaktif, sinis, dan sulit diajak bekerja sama. Semua ini karena satu alasan sederhana: tubuh kita mengirimkan sinyal bahaya yang paling mendasar, ia butuh energi untuk bertahan hidup.

Namun, begitu makanan tersaji dan suapan pertama masuk ke mulut, pertarungan pun usai. Gencatan senjata diumumkan. Amarah yang membara perlahan padam, digantikan oleh kelegaan yang menjalar ke seluruh tubuh. Kedamaian yang datang bersama rasa kenyang terasa begitu surgawi. Perut yang tadinya bergejolak kini tenang, dan dunia yang tadinya memusuhi kini tampak lebih ramah.

Akan tetapi, kedamaian ini membawa musuh baru yang lebih halus dan licik, rasa kantuk yang tak tertahankan. Jika lapar adalah serangan frontal yang ganas, kantuk adalah penyusup senyap yang melumpuhkan dari dalam. 

Energi tubuh yang berharga dialihkan secara besar-besaran ke sistem pencernaan. Darah terpusat di perut, meninggalkan otak dalam kondisi siaga rendah. Kelopak mata terasa berat seolah digantungi beban, fokus mulai memudar menjadi kabut tebal, dan kursi kerja terasa lebih empuk dari kasur termahal. Segala ambisi, rencana besar, dan daftar pekerjaan yang tadi pagi begitu membakar semangat, kini ditunda dengan satu bisikan magis: "Nanti saja."

Siklus ini adalah pengingat sederhana nan kuat tentang siapa kita sebenarnya. Di balik segala kerumitan pikiran, teknologi canggih, dan cita-cita setinggi langit, kita sering kali hanyalah makhluk biologis yang dikendalikan oleh kebutuhan paling mendasar. Perasaan kita, keputusan kita, bahkan nasib hari kita bisa ditentukan oleh hal sepele seperti jadwal makan siang yang terlewat atau porsi makan yang terlalu banyak. 

Lapar dan kenyang adalah kompas internal kita, penanda bahwa di antara segala pencapaian, kita tetaplah bagian dari alam, terikat pada ritme biologis yang sama sejak zaman dahulu kala.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline