Lihat ke Halaman Asli

Joanna Lie

Project Assistant

RUU TNI: Modernisasi atau Orba Kembali?

Diperbarui: 21 Maret 2025   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-anggota-dpr-2014-2019-yang-berlatar-belakang-hukum-lt543678f6348ae/

Pemerintah dan DPR baru saja menunjukkan bahwa mereka ternyata bisa bekerja dengan sangat cepat dan efisien. Setidaknya, kalau memang mau. Contohnya? Keputusan DPR tentang RUU TNI yang disahkan dalam waktu relatif singkat dan tanpa banyak perdebatan di ruang. Tapi tentu saja, kecepatan ini rupanya bukan standar untuk semua RUU. Sebab, ketika berbicara tentang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang melindungi korban kekerasan seksual atau RUU Perampasan Aset (yang bertujuan memberantas korupsi), yang menghadapi proses panjang dan penuh hambatan. Bisa jadi karena dua RUU ini tidak menyangkut kepentingan strategis elite tertentu? Atau karena tidak cukup "mendesak" dibandingkan revisi aturan militer? Mengapa pengesahan RUU TNI mendapat prioritas lebih tinggi dibandingkan regulasi yang berdampak langsung bagi masyarakat? Artikel ini akan mengulik bagaimana kecepatan pengesahan RUU TNI dibandingkan dengan dua RUU lain yang entah kenapa selalu tersandung hambatan teknis dan birokrasi. 

Kecepatan RUU TNI vs. Lambatnya RUU TPKS & RUU Perampasan Aset

1. RUU TNI: Ketika Pemerintah Bisa Bertindak Cepat (Kalau Mau)

Umumnya, proses legislasi sering kali berlarut-larut di Indonesia. Namun kecepatan pengesahan RUU TNI kali ini mengejutkan banyak pihak. Tidak seperti RUU TPKS yang butuh bertahun-tahun atau RUU Perampasan Aset yang masih belum jelas nasibnya, pengesahan RUU TNI terjadi dengan kecepatan yang luar biasa. Apa rahasianya?

  • Dukungan Politik yang Solid -- Berbeda dengan RUU lainnya, revisi UU TNI tampaknya mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan DPR. Tidak ada pihak yang merasa perlu mengulur waktu atau memperdebatkan revisi ini secara mendalam, menunjukkan betapa cepatnya proses legislasi ketika ada kepentingan bersama.
  • Minimnya Pengawasan Publik -- Pembahasan yang berlangsung cepat dan relatif tertutup membuat masyarakat kehilangan kesempatan untuk ikut berpartisipasi. Apakah ini merupakan salah satu upaya agar proses legislasi berjalan lancar tanpa gangguan dari kritik atau masukan publik? 
  • Isu Keamanan Nasional sebagai Dalih -- Alasan seperti modernisasi militer dan peningkatan profesionalisme TNI sering kali digunakan untuk mempercepat legislasi di sektor pertahanan. Kepentingan militer, yang dianggap lebih mendesak, seolah lebih penting dibandingkan isu-isu seperti hak-hak korban kekerasan seksual atau pengembalian aset hasil korupsi. 

Namun, di balik urgensi yang dikedepankan, muncul pertanyaan: Apakah benar ini hanya soal modernisasi militer, atau ada agenda lain yang lebih besar di baliknya?

2. Hidden Agenda di Balik Kecepatan Pengesahan RUU TNI?

Saking cepatnya keputusan DPR tentang RUU TNI, sulit untuk tidak berspekulasi mengenai hasil keputusan yang diambil dalam rapat paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025. Apakah ada kepentingan terselubung yang mendorong percepatan regulasi ini?

  • Ekspansi Peran Militer di Ranah Sipil -- Salah satu poin krusial dalam revisi RUU TNI adalah potensi peningkatan peran militer dalam kehidupan sipil. Jika ini benar, maka pemerintah berisiko memperluas peran TNI di luar tugas pertahanan, yang bisa mengaburkan batas antara otoritas sipil dan militer. Apakah ini tanda bahwa Indonesia ingin kembali ke masa lalu ketika militer memiliki pengaruh besar di luar ranah pertahanan? 
  • Persiapan Jelang Pemilu dan Stabilitas Politik -- Dengan pemilu yang semakin dekat, ada dugaan bahwa pemerintah berusaha memastikan "stabilitas" politik dengan memberikan lebih banyak ruang bagi TNI di sektor-sektor strategis untuk berperan sebagai "penjaga". Stabilitas siapa yang dimaksud tentu masih menjadi pertanyaan besar. 
  • Kompromi dengan Kelompok Tertentu -- Ini juga bisa jadi bagian dari strategi pemerintah untuk menjaga hubungan baik dengan pihak militer. Mengingat dukungan militer yang selalu "berharga" dalam situasi politik tertentu, mungkin ini merupakan kompromi untuk memastikan kestabilan politik dalam jangka panjang. 

3. RUU TPKS: Kenapa Tidak Secepat Itu?

Berbeda dengan RUU TNI yang begitu mulus jalannya, RUU Perampasan Aset yang bertujuan memperkuat pemberantasan korupsi harus melalui berbagai hambatan. Meskipun bertujuan untuk menyita aset hasil kejahatan, regulasi ini selalu menemui jalan buntu di tahap pembahasan. Mengapa?

  • Perlawanan dari Kelompok Konservatif -- Beberapa fraksi politik dan kelompok agama menolak beberapa klausal dalam RUU TPKS dengan alasan "moralitas" dan "nilai budaya". Padahal, korban kekerasan seksual sudah lama menunggu perlindungan hukum yang lebih kuat dan lebih cepat. Penolakan ini justru memperpanjang perjuangan untuk melindungi hak-hak korban. 
  • Kurangnya Urgensi di Mata Penguasa -- Meskipun penting bagi masyarakat, regulasi yang melindungi kelompok rentan sering kali tidak dianggap prioritas oleh pembuat kebijakan. Perlindungan bagi korban kekerasan seksual sering kali terabaikan karena tidak dianggap sebagai masalah mendesak oleh penguasa.
  • Minimnya Urgensi dalam Agenda Politik -- Berbeda dengan RUU TNI yang mendapatkan dorongan kuat dari pemerintah, RUU TPKS harus melalui serangkaian revisi dan perdebatan panjang sebelum akhirnya disahkan. Hal ini menunjukkan bahwa RUU TPKS tidak dianggap sebagai prioritas utama, dengan pihak-pihak yang terlibat lebih fokus pada kepentingan politik mereka masing-masing daripada pada kebutuhan mendesak untuk melindungi korban kekerasan seksual. 

4. RUU Perampasan Aset: Mengapa Belum Disahkan?

Sementara itu, RUU yang satu ini lebih tragis nasibnya. Meski bertujuan memperkuat upaya pemberantasan korupsi dengan cara menyita aset hasil korupsi dan tindak pidanan lainnya, entah kenapa selalu mentok di tahap pembahasan. Beberapa alasannya 

  • Resistensi dari Elite Politik -- RUU ini memungkinkan penyitaan aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Hal ini tentu mengancam kepentingan politisi dan pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi, sehingga banyak pihak yang enggan mendukungnya. 
  • Minimnya dorongan politik -- Tidak seperti RUU TNI yang mendapat dukungan cepat dari DPR, RUU Perampasan Aset harus melewati banyak revisi dan perdebatan panjang. Ini menunjukkan rendahnya urgensi di mata DPR untuk menyelesaikan masalah pemberantasan korupsi. 
  • Banyak yang mempertanyakan "potensi penyalahgunaan" -- Beberapa pihak khawatir bahwa regulasi ini bisa disalahgunakan secara politis untuk menargetkan lawan-lawan politik tertentu. Walaupun semua undang-undang bisa disalahgunakan, kekhawatiran ini sering muncul hanya ketika membahas regulasi yang menyasar aset hasil korupsi. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline