Lihat ke Halaman Asli

Jene Rika Eviliana

Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Legal Pluralisme dan Progressive Law: Menantang Sentralisme di Indonesia

Diperbarui: 14 Mei 2025   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Jene Rika Eviliana (232111213)

Legal pluralisme adalah suatu konsep yang mengakui keberadaan lebih dari satu sistem hukum dalam satu wilayah atau masyarakat. Ini termasuk hukum negara, hukum adat, hukum agama, dan norma sosial lainnya yang berlaku secara bersamaan. John Griffiths menyebutkan bahwa legal pluralisme adalah bentuk hukum yang "nyata" dan tidak terbatas pada sistem hukum formal yang diakui negara. Konsep ini memperluas pemahaman kita tentang hukum dengan mengakui realitas sosial bahwa masyarakat menjalankan beragam aturan yang tidak selalu bersumber dari negara.

Legal pluralisme terus berkembang karena ia mencerminkan realitas sosial masyarakat yang kompleks dan beragam. Di Indonesia, keberadaan masyarakat adat, agama-agama, serta kebiasaan lokal yang berbeda di tiap daerah menunjukkan bahwa satu sistem hukum nasional tidak bisa mencakup seluruh kebutuhan hukum masyarakat. Dalam masyarakat semacam ini, hukum lokal sering kali lebih diterima karena lebih sesuai dengan nilai-nilai dan norma mereka sehari-hari.

Selain itu, legal pluralisme berkembang karena adanya keterbatasan hukum negara dalam menjangkau seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hukum negara terkadang bersifat terlalu formal dan tidak kontekstual, sehingga masyarakat lebih memilih menyelesaikan persoalan melalui mekanisme hukum lokal yang dianggap lebih efektif, murah, dan adil. Proses penyelesaian konflik berbasis adat misalnya, sering lebih cepat dan diterima secara sosial.

Salah satu kritik utama dari legal pluralisme terhadap sentralisme hukum adalah bahwa hukum negara sering kali bersifat hegemonik dan tidak mengakomodasi keberagaman. Sistem hukum yang sentralistik cenderung meminggirkan praktik-praktik hukum lokal yang masih hidup dan digunakan oleh masyarakat. Sentralisme menciptakan jarak antara masyarakat dengan hukum karena tidak semua kebutuhan hukum masyarakat bisa ditampung oleh hukum negara.

Legal pluralisme menilai bahwa sentralisme hukum menciptakan ketimpangan kekuasaan dan ketidakadilan. Dengan menolak pluralitas, negara menegasikan keberadaan sistem hukum yang justru lebih relevan dalam praktik sosial sehari-hari. Oleh karena itu, legal pluralism menuntut negara untuk lebih inklusif dalam merancang kebijakan hukum dan memberi ruang bagi keberadaan hukum non-negara sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

Keberadaan legal pluralisme di Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat Indonesia yang multikultural dan multietnis menjadikan keberagaman hukum sebagai sesuatu yang alami. Menyatukan hukum dalam satu sistem tunggal akan menghapus nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi bagian penting dari identitas sosial masyarakat.

Namun demikian, keberadaan legal pluralisme juga harus diatur secara proporsional agar tidak menimbulkan konflik antar sistem hukum. Negara seharusnya tidak menghapus keberagaman ini, tetapi mengakomodasinya dalam kerangka hukum nasional yang adil dan menghargai otonomi lokal. Harmonisasi antar sistem hukum bisa dilakukan melalui dialog hukum yang setara, bukan melalui dominasi negara.

Sementara itu, hukum progresif atau progressive law adalah pendekatan hukum yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo. Pendekatan ini menekankan bahwa hukum harus digunakan sebagai alat untuk mengabdi pada manusia dan keadilan sosial, bukan sekadar sebagai aturan baku. Hukum progresif bersifat dinamis, tidak terikat pada teks hukum, dan mampu merespons perubahan sosial dengan fleksibel. Ini menjadikan hukum sebagai proses sosial, bukan institusi kaku.

Hukum progresif mengkritik sistem hukum Indonesia yang cenderung stagnan dan terjebak pada formalitas. Banyak regulasi di Indonesia yang tidak mampu mengatasi persoalan ketimpangan sosial karena hanya bersandar pada teks hukum dan mengabaikan konteks sosial yang berkembang. Dalam banyak kasus, hukum justru menjadi alat kekuasaan yang jauh dari keadilan substantif.

Hukum progresif menuntut keberanian dari penegak hukum untuk menafsirkan dan menerapkan hukum dengan pendekatan yang lebih humanistik. Satjipto Rahardjo menekankan pentingnya "membebaskan hukum dari belenggu teks" agar hukum bisa hidup dan menyatu dengan kebutuhan masyarakat. Kritik ini semakin relevan ketika hukum gagal menyentuh kelompok marginal dan hanya menguntungkan pihak yang kuat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline