Lihat ke Halaman Asli

I Putu Bagus Wiswanathan

Mahasiswa Undiksha

Karma Tak Bisa Disuap di Hadapan Dharma Hindu

Diperbarui: 27 Juni 2025   01:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Negeri yang subur ini, ironi muncul bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena kelimpahan yang terampas oleh sedikit tangan rakus. Sudah lama kita mengenal kata "korupsi", namun setiap kali angka itu terungkap, kita kembali tercengang. Awal tahun 2025, misalnya, publik dikejutkan oleh pengusutan gratifikasi besar-besaran yang melibatkan mantan Bupati Kutai Kartanegara. Berdasarkan dokumen penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, pejabat tersebut dituduh menerima bukti transfer tunai senilai Rp 350 miliar dari 36 rekening pribadi, ditambah USD 6,2 juta dan SGD 2 juta sebuah jumlah yang menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp 450 miliar. Di balik statistik itu, tersimpan hak-hak dasar masyarakat yang terampas seperti jalan rusak tanpa perbaikan, fasilitas kesehatan terbiar, dan kepercayaan publik yang kian luntur. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan luka mendalam bagi tubuh bangsa yang menanti keadilan hakiki.

Jika hukum positif bisa dipelintir, masih adakah kamar di mana keadilan sungguh-sungguh berlaku tanpa celah? Inilah titik di mana ajaran Hindu menawarkan refleksi mendalam. Dalam cakrawala kesadaran, setiap tindakan baik maupun buruk akan kembali kepada pelakunya melalui hukum sebab akibat, atau karma phala. Ia tak mengenal pertimbangan politik dan tak bisa diintervensi oleh birokrat atau pengacara handal. Ini dimana hukum semesta berjalan terus, tanpa jeda.

Dalam ajaran Hindu, keadilan tak berhenti di ruang sidang; ia menjelma dalam bentuk yang lebih halus namun tak terhindarkan, yaitu karma phala, buah dari setiap perbuatan. Secara etimologis, karma berasal dari Sanskerta yang berarti "tindakan", sedangkan phala berarti "buah" atau "akibat". Dengan kata lain, setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan kita sekecil apa pun akan menuai konsekuensi. Prinsip ini mengingatkan bahwa sekadar "berbuat baik akan dibalas baik" belum mencakup seluruhnya tetapi ada lapisan waktu, ruang, dan niat yang menentukan kapan dan bagaimana buah itu muncul.

Tiga Bentuk Utama Karma Phala Menurut Agama hindu 

  1. Sancita Karma Phala
    Merupakan akumulasi semua tindakan kita, baik di kehidupan sekarang maupun kehidupan sebelumnya. Layaknya "tabungan" karma yang belum terselesaikan, dampaknya bisa terasa kapan saja, tanpa kita sadari.
  2. Prarabda Karma Phala
    Adalah bagian dari sancita yang sedang "dijalani" sekarang. Segala suka dan duka yang kita alami hari ini dianggap sebagai buah masa lalu yang saatnya berbuah. Dampaknya terasa langsung, seolah waktu memadat dalam menit, jam, dan hari.
  3. Kriyamana Karma Phala
    Adalah karma yang kita ciptakan saat ini melalui setiap tindakan dan pikiran. Ia menambahkan "setoran" baru ke dalam sancita dan akan berbuah pada waktunya baik di kehidupan ini maupun kehidupan mendatang.

Prinsip ini menegaskan satu hal penting yaitu tidak ada perbuatan yang sia-sia, dan tidak ada yang benar-benar bisa lolos dari akibatnya seperti yang tertulis dalam Bhagavad Gita 4.17:

karmao hyapi boddhavya boddhavya cha vikarmaa
akarmaah cha boddhavya gahan karmao gati

artinya
"Sulit untuk memahami tindakan; karena tindakan, tidak-tindakan, dan salah-tindakan sering tampak serupa. Maka renungkan dengan hati-hati sebelum bertindak."

Dalam konteks sosial hari ini, ajaran ini menyuarakan hal seperti keadilan sejati bukan hanya urusan hukum negara, tapi juga soal keseimbangan semesta. menjelaskan tentang hakikat tindakan (karma), tindakan yang salah (vikarma), dan tidak melakukan tindakan sama sekali (akarma), serta betapa sulitnya memahami hakikat dari semua itu. 

Dalam pandangan Hindu, korupsi bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga pelanggaran terhadap tatanan semesta. Ia merusak keseimbangan antara manusia, alam, dan nilai-nilai kebenaran. Ketika seseorang memilih untuk menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi, ia sebenarnya sedang memutus hubungan dengan Dharma atau prinsip kebenaran yang menopang kehidupan itu sendiri.

Korupsi mungkin tampak menguntungkan di permukaan. Rumah jadi mewah, rekening makin tebal, orang-orang seolah hormat. Tapi sesungguhnya, setiap rupiah yang diambil bukan dari haknya akan menciptakan beban batin. Bukan hanya rasa bersalah, tapi juga keterikatan pada akibat yang kadang tak langsung terasa, namun akan muncul dalam bentuk penderitaan di waktu yang tak terduga.

Dalam kerangka karma phala, setiap tindakan jahat apalagi yang merugikan banyak orang akan berbuah pada penderitaan yang setara. Ini bukan ancaman, tapi prinsip dasar alam yaitu apa yang ditanam, itulah yang tumbuh. Bahkan jika hari ini pelakunya bebas, dihormati, atau tampak berjaya, itu bukan berarti ia lolos. Bisa jadi, ia sedang diberi ruang oleh semesta untuk belajar. Tapi ketika waktunya tiba, buah dari karmanya tetap akan datang, entah sebagai keruntuhan dalam hidup, penyakit, kehancuran relasi, atau penderitaan batin yang sunyi tapi dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline