Lihat ke Halaman Asli

Alit Putra

Insinyur

Bali Mesti Belajar Mengelola Sampah dari Swedia

Diperbarui: 7 Agustus 2025   03:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

File:Waste sorting Gavle Sweden.JPG - Wikimedia Commons 

Sebagai orang Bali yang telah lama tinggal di Swedia, saya merasa perlu menyampaikan pandangan terkait pernyataan Gubernur Koster mengenai penutupan TPA Suwung. Pernyataan Gubernur yang mendorong masyarakat untuk mengelola sampah secara mandiri cukup membuat geleng-geleng kepala. Mengelola sampah bukanlah tugas ringan, apalagi jika masyarakat belum memiliki akses terhadap fasilitas dan edukasi yang memadai. Pengalaman saya di Swedia menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan sampah sangat bergantung pada peran aktif pemerintah dalam membangun sistem yang terintegrasi dan mudah diakses oleh semua orang. Kita harus berhenti bermimpi dan mulai berpikir realistis. Bali bukan Swedia, tapi bukan berarti kita tidak bisa belajar.

Di Swedia, salah satu negara terbersih di dunia, pengelolaan sampah adalah tanggung jawab bersama yang dipimpin oleh pemerintah. Masyarakat berperan aktif, tetapi mereka tidak dibiarkan berjalan sendiri. Pemerintah Swedia menyediakan infrastruktur, regulasi, dan edukasi yang menyeluruh agar proses pengelolaan sampah berjalan lancar dan berkelanjutan. Swedia menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang berhasil bukan hanya soal kampanye, diskusi atau seminar, tetapi soal sistem yang dirancang dengan baik dan dijalankan secara konsisten.

1. Pemisahan Sampah yang Menyeluruh dan Terstruktur  

Pemerintah Swedia menyediakan fasilitas pemisahan sampah yang lengkap dan mudah dijangkau. Di setiap kompleks apartemen, tersedia ruang khusus dengan kontainer terpisah untuk sampah organik, plastik, kertas, logam, kaca, dan barang elektronik. Di ruang publik seperti stasiun, taman, dan pusat perbelanjaan, kontainer serupa tersedia dengan label dan warna yang membedakan jenis sampah.

2. Sampah Diolah Menjadi Energi

Sekitar 50% sampah domestik di Swedia diolah menjadi energi melalui teknologi waste-to-energy. Sampah yang tidak dapat didaur ulang dibakar dalam fasilitas khusus untuk menghasilkan listrik dan panas bagi ribuan rumah. Sebagai contoh fasilitas Hgdalenverket di Stockholm mampu memanaskan lebih dari 30.000 rumah setiap tahun. Teknologi waste-to-energy mereka dilengkapi dengan sistem penyaringan emisi untuk menjaga agar prosesnya tetap ramah lingkungan.

Waste-to-Energi Plant di MalmoSysav--flygbild 06 september 2014 - SYSAV waste-to-energy plant - Wikipedia 

3. Insentif dan Sanksi untuk Menegakan Peraturan

Pemerintah Swedia menerapkan kebijakan yang mendorong perilaku bertanggung jawab melalui insentif dan sanksi. Perusahaan yang menggunakan bahan daur ulang dalam produksinya dapat memperoleh pengurangan pajak. Sebaliknya, individu atau organisasi yang tidak memilah sampah sesuai aturan dapat dikenai denda. Di Gteborg, kota tempat tinggal saya, warga yang tidak mematuhi aturan pemilahan sampah dapat dikenai denda hingga 800 SEK, atau sekitar Rp1,200,000. Sementara itu, perusahaan pengemasan yang menggunakan material daur ulang mendapatkan potongan untuk biaya pengelolaan limbah.

Langkah Konkret untuk Bali

Anjuran untuk mengelola sampah secara mandiri sulit diterapkan di Bali karena kondisi sosial dan geografis yang sangat beragam. Dari villa mewah hingga gang sempit, akses dan kemampuan warga berbeda-beda. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Bali harus mengambil peran aktif dan memimpin dengan kebijakan yang jelas, bukan sekadar memberi imbauan. Penutupan TPA Suwung memang langkah penting, namun tanpa solusi menyeluruh, masalah sampah hanya akan berpindah lokasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline