Manusia adalah perwujudan Ilahi, percikan terkecil Sang Maha Agung, begitulah yang ingin ditonjolkan dalam kisah renungan ini. Dengan mengambil kisah perjalanan Bimasena menuju Sumur Dorangga yang sangat mengerikan itu, sebuah titik penyadaran agaknya dapat dipetik.
Pasalnya kisah ini memang unik bagi yang ingin bercermin, manusia yang disimbolkan dengan ketokohan Bimasena tidak akan mampu mengerjakan seringan apapun tugas yang dibebankan padanya bila kehendak Tuhan yang disebut prakerthi tidak bekerja. Tentu tidak terbantahkan, bahwa dalam diri manusia dan juga diri Bima hadirlah kehendak Ilahi itu. Manusia telah lahir untuk memberikan pernyataan pada kehendak Tuhan.
Resi Drona adalah sebuah simbol yang patut dipatuhi, tanpa dihambat apakah pikirannya kotor, penipu, licik dan lain-lain tidaklah penting. Malah justru yang terpenting dalam dirinya juga terdapat kuasa Tuhan yang harus dipatuhi, dan itu yang Bimasena pegang dengan sangat kuatnya, sebagai seorang murid, Bimasena adalah teladan yang perlu ditiru.
Menjadi kian indah ketika Guru Drona ditinjau dari filsafat pendidikan. Yang nota benenya bahwa pendidikan selalu mestinya membuat proses yang mengedepankan penghancuran keserahkahan, dengan itu kebahagiaan akan mudah digapai. Jika orang mengalahkan keserahkahan , ia dapat memperoleh kebahagiaan.
Orang yang serakah tidak dapat menikmati kebahagiaan jasmani, mental maupun spiritual, itulah akhir dari sebuah proses pendidikan. Tetapi bagi Guru Drona itu agaknya bermakna lain bila berhubungan dengan Bimasena, justru Guru Drona telah memihak, dan membiarkan rasa iri dan cemburu pada anak didiknya yang lain (Kurawa) tumbuh subur sehingga tahap itu pendidikan akan gagal ketika menghasilkan orang-orang pelit untuk menghargai kelebihan orang lain, karena orang pelit adalah seperti anjing dalam kandang. Ia tidak dapat menikmati hartanya dan ia juga tidak membiarkan yang lain menikmatinya. Dunia membenci orang pelit.
Tetapi Bima tidak pelit sebagai orang yang memiliki kelebihan tenaga dia akan membantu gurunya, Dronacarya demi suksesnya proses belajar itu, meskipun sang guru berkehendak lain, dalam sisi ini dia diselamatkan oleh oleh kuasa Tuhan, karena rasa setianya kepada sang guru.
Sumur Dorangga yang dihuni dua ular naga ganas dan sangat sakti, dapat diibaratkan sebagai bentuk kehidupan di dunia ini, sama halnya dengan adagium " orang hidup untuk makan, ataukah makan untuk hidup? Sebuah bentuk dialektika sederhana, yang mungkin bisa bergulat dalam konsep dunia yang tidak pernah lekang, yaitu "rwabineda", baik buruk, kotor dan suci, raga dwesa, mereka yang mampu melampaui itu akan mendapat kedamaian yang abadi sebagai sebuah rahmat. Itulah yang ingin digali dari sebuah cerita awal perjalanan Bima untuk mendapatkan tirta kamandalu.
***
Bimasena berangkat, setelah mendengar dengan seksama perintah Rsi Drona. " Carilah Tirta Kamandalu itu, air suci itu berada sangat jauh di sebuah gua yang didalamnnya ada Sumur, orang menyebutnnya Sumur Dorangga, disanalah engkau cari sampai ketemu, apapun yang engkau hadapi, adalah sebuah tantangan, sepanjang engkau yakin bahwa melaksanakan tugas dari seorang guru adalah suci, engkau akan terselamatkan" Bimasena tampak memandang dengan seksama dan menghayati dengan segala kebaktian kata-kata gurunya.
Sambil mendekat Dronacarya menambahkan dengan sebuah nasehat, " Hidupmu akan menjadi berisi, dan terus berisi dengan bertambahnya waktu. Hidup berisi mengendaki keseimbangan suka atau duka".