Lihat ke Halaman Asli

Indra Agung Putrantoro

Musician | Diploma in Optometry | Bachelor of History Education

Kemerdekaan Indonesia Lahir dari Darah dan Air Mata, Bukan Hadiah

Diperbarui: 17 Agustus 2025   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pahlawan kemerdekaan pada peristiwa Rengasdengklok. (Sumber: Wikimedia Commons)

Salah satu kalimat yang sering kita dengar didalam pelajaran sejarah adalah bahwa bangsa Indonesia dahulu pernah dijajah selama 350 tahun. Ungkapan ini kerap dilekatkan pada pidato-pidato dari Bung Karno, terutama saat beliau berusaha untuk membangkitkan nasionalisme di tengah rakyat kala itu. Namun, sejarawan kemudian mengkritisi bahwa klaim 350 tahun itu sebenarnya lebih merupakan narasi politik Bung Karno ketimbang fakta sejarah yang presisi.

Memang benar, Belanda hadir di Nusantara sejak awal abad ke-17 melalui sebuah Perusahaan asing bernama VOC. Tetapi, dominasi mereka tidak serta merta langsung menyeluruh selama tiga setengah abad. Ada banyak kerajaan dan wilayah yang baru benar-benar berhasil ditaklukkan pada abad ke-19 seperti Aceh, Bali, atau wilayah pedalaman lainnya. Artinya, angka 350 tahun lebih tepat dibaca sebagai simbol panjangnya penderitaan kolonialisme bangsa Indonesia dan bukanlah sebuah angka literal. Adapun Bung Karno menggunakan narasi itu untuk membakar semangat juang, agar bangsa ini menyadari betapa lamanya mereka hidup di bawah tekanan asing.

Di sinilah terlihat kejeniusan politik Bung Karno. Ia tahu bahwa rakyat membutuhkan mitos kolektif untuk bersatu. Doktrin 350 tahun dijajah menjadi bahasa politik yang membentuk identitas nasional, bahwa kemerdekaan adalah harga mati, bukan hadiah.

Konteks ini penting karena pada akhirnya akan membedakan Indonesia dengan banyak negara Asia Tenggara lain. Filipina, misalnya, setelah lama dijajah Spanyol kemudian beralih ke Amerika Serikat, akhirnya memperoleh kemerdekaan resmi pada 1946 dalam kerangka yang sarat dengan kepentingan geopolitik Amerika. Malaysia dan Singapura pun merdeka melalui jalan kompromi dengan Inggris, dalam bentuk transisi damai yang diatur oleh perjanjian-perjanjian resmi. Bisa dibilang kemerdekaan mereka semua merupakan sebuah hadiah dari para penjajah.

Indonesia berbeda, proklamasi kita ditentang dengan keras oleh Belanda. Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948) membuktikan bahwa Belanda ingin kembali menancapkan kuku kolonialnya. Namun perlawanan rakyat, perang gerilya, dan diplomasi panjang akhirnya memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949 melalui Konferensi Meja Bundar. Semua itu menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia itu diraih dengan pengorbanan, bukan pemberian apalagi hadiah secara cuma-cuma.

Konteks menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945 juga memperlihatkan semangat itu. Pemuda-pemuda mendesak Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan setelah Jepang menyerah. Mereka khawatir bila proklamasi ditunda, kemerdekaan Indonesia akan dianggap sebagai hadiah dari Jepang karena Jepang mendapatkan label sebagai negara kalah perang dan wilayah jajahannya harus dikembalikan kepada pemilik sebelumnya yaitu Belanda.

Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 menjadi momentum penting. Soekarno dan Hatta diculik oleh sekelompok pemuda agar segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang. Tokoh-tokoh pemuda yang terlibat di antaranya Soekarni, Wikana, Chaerul Saleh, Subadio Sastrosatomo, hingga Singgih dari PETA. D.N. Aidit, yang kelak akan dikenal sebagai Ketua PKI juga merupakan salah satu generasi muda yang mendorong percepatan proklamasi tersebut.

Peristiwa Rengasdengklok adalah bukti betapa kuatnya tekad generasi muda untuk memastikan kemerdekaan Indonesia bukan hadiah. Tekanan dari pemuda berpadu dengan kecerdasan politik Soekarno-Hatta, menghasilkan Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Di masa setelah proklamasi, perang gerilya menjadi tulang punggung perjuangan mempertahankan republik. Para pejuang, baik tentara maupun rakyat biasa, turun ke desa-desa, hutan, dan sawah untuk menjaga eksistensi Indonesia dari upaya kolonial Belanda. Banyak di antara mereka yang kemudian dianugerahi Bintang Gerilya sebagai penghargaan atas pengorbanan tersebut. Salah satunya adalah kakek saya, yang ikut serta dalam perjuangan mempertahankan republik

Pada akhirnya, narasi 350 tahun dijajah dan fakta bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Yang satu berfungsi sebagai mitos pemersatu, yang lain adalah realitas sejarah perjuangan. Keduanya membentuk kesadaran nasional kita bahwa kemerdekaan tidak pernah datang dengan mudah. Ia lahir dari darah, air mata, dan tekad yang tak tergoyahkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline