Lihat ke Halaman Asli

Indrato Sumantoro

Pemerhati Aspal Buton.

Bonus Demografi Tanpa Aspal Buton: Sebuah Kedunguan Sejarah

Diperbarui: 19 September 2025   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bonus Demografi 2030. Sumber: teropongmedia.id

Pemerintah sibuk menjual mimpi "Indonesia Emas 2045" seolah itu takdir yang otomatis terjadi. Mereka menepuk dada tentang bonus demografi, tentang generasi muda yang akan mengubah dunia. Tetapi apa arti angka-angka penduduk produktif jika jalan negeri ini masih terus diselimuti aspal impor? Tanpa pijakan yang kokoh, bonus demografi hanyalah jargon kosong.

Aspal adalah tulang punggung pembangunan infrastruktur, urat nadi pergerakan ekonomi. Tanpa aspal, pabrik tidak terhubung, desa tidak terkoneksi, dan distribusi pangan macet. Ironisnya, delapan puluh tahun merdeka, Indonesia masih terus bergantung pada aspal minyak dari luar negeri. Ketergantungan ini bukan sekadar kelalaian, tetapi kedunguan yang terus dipelihara.

Cadangan Aspal Buton mencapai 650 juta ton, cukup untuk ratusan tahun. Teknologi ekstraksi sudah terbukti efisien dan ramah lingkungan. Namun kontribusinya ke kebutuhan nasional tidak sampai lima persen. Bukankah ini pengakuan telanjang bahwa kebijakan kita tersandera kepentingan jangka pendek?

Para pemimpin sering berkoar soal kedaulatan energi dan ketahanan pangan. Tetapi ketika bicara kedaulatan infrastruktur, suara mereka mendadak hilang. Mengabaikan Aspal Buton sama saja menolak kedaulatan jalan yang menjadi dasar semua pembangunan. Ini bukan sekadar abai, melainkan kesalahan strategis.

Bonus demografi adalah pedang bermata dua. Jika disertai infrastruktur kuat, ia akan jadi berkah yang melesatkan ekonomi. Tanpa jalan yang kokoh, ia berubah menjadi beban: pengangguran massal, kemiskinan, dan konflik sosial. Tanpa Aspal Buton, pedang itu akan menusuk ke jantung bangsa sendiri.

Indonesia Emas 2045 hanya berjarak dua dekade lagi. Namun proses menuju swasembada aspal masih jalan di tempat. Bagaimana mungkin kita bisa bicara kemajuan 20 tahun ke depan jika proyek dasar hari ini pun tidak kita tuntaskan? Itulah kedunguan sejarah yang sedang dipertontonkan di depan mata kita.

Peta Jalan Hilirisasi Aspal Buton sudah ada, tetapi tanpa kekuatan hukum hanya jadi tumpukan kertas. Tanpa keberanian politik, peta itu sekadar peta ilusi. Mafia impor aspal menertawakan kita dari balik meja dagang mereka. Dan kita terus mengulang kesalahan yang sama.

Bonus demografi bukan hadiah cuma-cuma. Ia menuntut infrastruktur jalan yang terjamin kualitas dan ketersediaannya. Tanpa itu, generasi muda akan mewarisi frustasi, bukan kemakmuran. Mereka akan menyebut era ini sebagai masa kedunguan, bukan kebangkitan.

Setiap tahun kita menunda swasembada aspal, triliunan rupiah bocor ke luar negeri. Uang itu seharusnya membiayai sekolah, riset, dan lapangan kerja. Namun kita memilih menjadi konsumen setia aspal impor. Tidakkah ini puncak kebodohan ekonomi?

Para generasi muda akan segera mendominasi angkatan kerja. Mereka butuh akses cepat, logistik murah, dan transportasi andal. Tanpa aspal dari bumi sendiri, seluruh potensi itu terkunci. Bonus demografi pun bertransformasi menjadi ancaman demografi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline