Wahai Nabi,
namamu adalah harum semerbak yang tak pernah layu,
menyusup ke dalam dada yang rapuh,
menghidupkan hati yang sering terjatuh.
Aku menelusuri kisahmu lewat tinta-tinta sejarah,
menyimak setiap jejak yang kau tinggalkan.
Engkau tidak sekadar manusia,
engkau adalah cahaya yang membelah gelap,
rahmat yang menetes ke bumi,
hingga pasir pun berzikir memanggilmu.
Cintaku padamu, ya Rasul,
bukanlah puisi yang indah semata,
tetapi desir yang mengalir dalam darah,
rindu yang tak pernah selesai,
meski lidah terus berucap shalawat:
Engkau adalah kekasih Allah,
penawar luka jiwa-jiwa yang gersang,
mata air kasih di tengah padang tandus,
pelita yang tak padam meski zaman berganti.
Andai aku hidup di masamu,
niscaya kutinggalkan segala yang fana,
hanya untuk menatap wajahmu,
mendengar lembut suaramu,
merasakan hangat kasihmu.
Namun, takdir menempatkanku jauh darimu,
hanya lewat doa aku bisa mendekat,
hanya lewat cinta aku bisa menyentuh,
dan hanya lewat kerinduan
aku bisa merasa dekat denganmu.
Wahai Rasulullah,
di malam-malam sunyi aku bersujud,
memanggil namamu dalam bisikan,
agar hatiku tetap setia pada jejakmu,
agar langkahku selalu meniti jalanmu.
Ya Habibi, Ya Muhammad,
kami umatmu yang penuh dosa,
namun masih berharap,
cinta ini menjadi alasan,
agar kelak engkau menoleh,
dan tersenyum sambil berkata:
"Engkau umatku."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI