Lihat ke Halaman Asli

Mahéng

TERVERIFIKASI

Author

Blugo, Nasi, dan Identitas yang Terjajah

Diperbarui: 14 Juni 2025   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskusi bersama  Hendri Muhammad  public relation and liaison officer YIARI (Sumber:TPOM/Anna Desliani)

Pada suatu sore yang biasa saja, 3 Juni 2025, saya mendengar kalimat yang luar biasa.

"Kita tidak akan pernah bisa berdaulat selama perut kita dijajah." 

Jangan dikira ini kutipan dari seminar geopolitik yang digelar di Tokyo. Bukan. Ini diucapkan sambil nyocol mangga ke cabe garam, pakai tusuk gigi. 

Begini ceritanya. Kami sedang diskusi tentang konservasi, budaya, dan persiapan riset untuk The Power of Mama (TPOM), sebuah program pemberdayaan perempuan di pesisir Ketapang oleh Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI). 

Tapi, seperti biasa, pembicaraan orang Indonesia: mulai dari nyocol mangga, tahu-tahu sudah nyasar ke nasionalisme. 

Dan ya, mangga itu penting. Karena dari sanalah semuanya bermula. 

Sopan Santun Adalah Tusuk Gigi Sosial 

Bang Hendri Muhammad, public relation and liaison officer YIARI, narasumber kami yang jenaka sekaligus filosofis, bilang, "Saya tidak mungkin membagi kawan-kawan dengan tangan kosong. Maka alat ini, tusuk gigi, adalah adaptasi."

Dari situ saya mulai merenung (sambil tetap nyocol mangga). Ternyata tusuk gigi bukan sekadar alat dapur. Ia simbol peradaban. Representasi sopan santun dalam bentuk kayu tajam nan mungil. 

Semacam 'peace agreement' antar lidah yang berbeda kultur.

Kata Bang Hendri, sopan santun itu bukan kebaikan murni. Ia semacam 'kepura-puraan kolektif' agar kita bisa makan rame-rame tanpa saling jijik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline