Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Mendalam: Menyemai Regulasi Diri di Sekolah Indonesia

11 September 2025   21:41 Diperbarui: 11 September 2025   21:41 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar diambil dari https://www.shutterstock.com/

Di sebuah kelas menengah di Jakarta, suasana terasa riuh. Murid-murid sibuk menyalin catatan dari papan tulis, sementara guru bergegas mengejar target kurikulum yang padat. Di luar kelas, dunia bergerak cepat. Teknologi, ekonomi kreatif, dan perubahan sosial menuntut generasi muda yang mampu berpikir kritis, beradaptasi, dan belajar secara mandiri. Pertanyaannya: apakah sekolah kita benar-benar sedang menyiapkan murid-murid untuk menghadapi realitas itu, atau sekadar melatih mereka menghafal demi lulus ujian?

Fenomena serupa tidak hanya terjadi di kota besar. Di berbagai daerah, pembelajaran masih sering dipandang sebagai proses transfer pengetahuan satu arah. Murid dianggap berhasil bila mampu menirukan kembali isi buku teks atau menyelesaikan soal ujian. Padahal, dalam dunia nyata, kompetensi yang dibutuhkan jauh lebih kompleks: mengatur diri, menetapkan tujuan, dan menemukan strategi belajar yang efektif.

Kebutuhan inilah yang menjadikan konsep self-regulated learning (SRL) atau regulasi diri dalam belajar, sebagaimana dipaparkan Dale H. Schunk dan Jeffrey A. Greene (2017), relevan untuk konteks pendidikan Indonesia saat ini.

Apa itu Regulasi Diri dalam Belajar?

Menurut Schunk dan Greene (2017), regulasi diri dalam belajar adalah kemampuan murid untuk secara sadar mengatur kognisi, motivasi, perilaku, dan emosi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Seorang murid yang memiliki regulasi diri bukan hanya tahu apa yang harus dipelajari, tetapi juga bagaimana cara belajar yang sesuai, kapan harus mengevaluasi diri, serta bagaimana mengatasi rasa bosan atau putus asa.

Barry Zimmerman, salah satu pionir bidang ini, menggambarkan SRL sebagai proses siklus yang terdiri dari tiga tahap: forethought (perencanaan), performance (pelaksanaan dan pemantauan), serta self-reflection (refleksi dan evaluasi). Siklus ini menunjukkan bahwa belajar bukanlah kegiatan linier, melainkan proses dinamis yang selalu melibatkan umpan balik.

Di Indonesia, gagasan ini menantang paradigma lama yang cenderung menekankan disiplin eksternal. Misalnya, murid dinilai rajin bila selalu mengerjakan PR tepat waktu. Namun, regulasi diri jauh melampaui sekadar kepatuhan. Ia berbicara tentang kesadaran murid untuk mengatur strategi belajarnya sendiri---apakah harus membaca ulang, berdiskusi, atau membuat peta konsep---serta motivasi intrinsik untuk terus berkembang.

Dari Hafalan Menuju Pembelajaran Mendalam

Budaya belajar di Indonesia masih kental dengan tradisi hafalan. Tidak jarang, siswa dinilai cerdas bila mampu mengingat banyak fakta. Padahal, dalam konteks pembelajaran mendalam (deep learning), hafalan hanyalah titik awal. Yang lebih penting adalah bagaimana murid mengaitkan pengetahuan baru dengan pemahaman yang sudah ada, membangun makna, dan menggunakannya untuk menyelesaikan masalah nyata.

Penelitian Schunk dan Swartz (1993) menunjukkan bahwa ketika siswa diberi tujuan belajar yang berfokus pada pemahaman, bukan sekadar hasil, mereka lebih mampu mempertahankan strategi belajar yang efektif. Artinya, orientasi pada pemahaman mendorong lahirnya pembelajar mandiri yang siap menghadapi tantangan kompleks.

Dalam konteks Indonesia, pergeseran dari hafalan ke pembelajaran mendalam bisa dimulai dari hal sederhana. Misalnya, guru matematika tidak hanya mengajarkan rumus, tetapi juga mendorong murid untuk menjelaskan mengapa rumus tersebut berlaku. Guru sejarah tidak hanya meminta murid mengingat tahun peristiwa, tetapi juga mengajak mereka menganalisis sebab-akibatnya. Proses ini menumbuhkan regulasi diri sekaligus mengasah daya pikir kritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun