Lihat ke Halaman Asli

Haris Nursyah Arifin

Dosen - Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Denpasar Bali

Dari Agora Athena ke Panggung OSIS: Membaca Kembali Makna Debat dalam Perspektif Filsafat Klasik

Diperbarui: 12 Oktober 2025   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyampaian Visi dan Misi Calon Ketua dan Wakil Ketua OSIM MA Al-Amin Tabanan (Sumber: Foto Pribadi)

Dua Panggung, Satu Warisan

Pada 10 Oktober 2025, Musholla Al-Amin di Madrasah Aliyah Al-Amin Tabanan menyaksikan debat calon ketua dan wakil ketua OSIS. Tiga pasangan calon memaparkan visi-misi mereka, menjawab pertanyaan panelis tentang strategi kerja dan pemberantasan bullying, serta saling melempar pertanyaan. Debat berlangsung khidmat meskipun ada perbedaan pendapat yang tajam.

Peristiwa sederhana ini sebenarnya adalah kelanjutan dari tradisi yang telah berusia lebih dari 2000 tahun. Jauh sebelum ada sekolah modern, di sebuah lapangan terbuka bernama Agora di kota Athena, Yunani Kuno, tradisi yang sama telah dipraktikkan. Di sana, warga Athena berkumpul bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga untuk berdebat, berargumen, dan mencari kebenaran bersama. Di sinilah filsafat Barat dan tradisi demokrasi lahir, dengan debat sebagai jantungnya.

Artikel ini akan menunjukkan bahwa debat OSIS bukan sekadar ajang kampanye atau adu argumentasi. Debat adalah metode pembelajaran yang fundamental, sebuah cara membentuk pemikiran kritis dan karakter yang telah diwariskan peradaban Yunani kepada kita hingga hari ini.

Socrates: Guru yang Bertanya, Bukan Menjawab

Tokoh pertama yang harus kita pahami adalah Socrates (469-399 SM). Filsuf yang tidak pernah menulis buku ini justru mengubah cara manusia berpikir tentang pengetahuan. Metodenya sederhana tapi revolusioner: ia tidak memberikan jawaban, melainkan mengajukan pertanyaan demi pertanyaan yang membuat lawan bicaranya berpikir ulang tentang keyakinan mereka sendiri.

Socrates percaya bahwa pengetahuan sejati tidak bisa ditransfer seperti menuang air ke dalam gelas. Pengetahuan harus "dilahirkan" dari dalam diri seseorang melalui proses berpikir yang mendalam. Ia menyebut dirinya sebagai "bidan pengetahuan"—yang membantu melahirkan pemahaman, bukan memaksakan jawaban.

Yang lebih penting, Socrates mengajarkan kerendahan hati intelektual. Pernyataannya yang terkenal, "Yang saya tahu adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa," bukan pesimisme, melainkan fondasi kebijaksanaan sejati. Dalam debat, ini berarti sikap terbaik adalah keterbukaan untuk dikoreksi, bukan keyakinan absolut bahwa kita selalu benar.

Ketika panelis di MA Al-Amin mengajukan pertanyaan kepada calon OSIS, mereka sebenarnya menjalankan fungsi Socratic. Pertanyaan tentang strategi merealisasikan visi atau tentang pemberantasan bullying bukan sekadar tes pengetahuan. Ini adalah undangan untuk berpikir lebih dalam, menguji konsistensi gagasan, dan mengembangkan pemahaman yang lebih matang—baik bagi calon maupun bagi audiens yang mendengarkan.

Plato: Mencari Kebenaran, Bukan Sekadar Menang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline