Lihat ke Halaman Asli

Tatang Hidayat

Pegiat Student Rihlah Indonesia

Mengenal Sosok KH. Abdullah Bin Nuh "Al-Ghazali dari Cianjur, Indonesia"

Diperbarui: 30 April 2017   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenal Sosok KH. Abdullah bin Nuh “Al-Ghazali Dari Cianjur Indonesia” (Ulama Pejuang Yang Banyak Berkiprah Di Tingkat Internasional) *

Oleh : Tatang Hidayat**

KH. Abdullah bin Nuh adalah sosok ulama sekaligus pejuang yang memiliki kharismatik dimata Dunia Islam. Tapak sujudnya bertebaran di Indonesia maupun di dunia internasional. Cita-cita luhurnya dan seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk mempersatukan umat Islam lintas madzhab. “Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan  yang satu.  Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang yang luas, yaitu Padang Arafah. Sama-sama lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama-sama bernaung dibawah langit kemanusiaan yang sempurna. Dan sama-sama berpijak di bumi kepahlawanan yang utama”. Itu merupakan cuplikan sebait prosa yang ditulis oleh seorang Ulama besar bernama KH. Abdullah bin Nuh. Selain merupakan guru para ulama, KH. Abdullahbin Nuh juga di kenal sebagai seorang ahli bahasa dan sastrawan, pendidik dan pejuang kemerdekaan. Sederet nama tokoh besar seperti Mohammad Natsir (Ketua Partai Islam Masyumi) dan KH. Wahid Hasyim (Ketua Nahdlatul Ulama) adalah sahabat-sahabat seperjuangannya.

Nama lengkapnya adalah Kyai Haji Raden Abdullah bin Nuh, yang biasa di sebut Mama Ajengan Abduullah bin Nuh oleh orang Bogor. Ia lahir di kampung Bojong Meron, Cianjur tangal 30 Juni 1905 dan wafat di Bogor pada 26 Oktober 1987. Pertama mendapat pendidikan agama yang sangat disiplin dari ayahnya, yakni KH. R. Muhammad Nuh bin Muhammad Idris yang juga seorang Ulama besar pendiri sekolah Al I’anah Cianjur dan murid utama KH. Muhtar seorang guru besar di Masjidil Haram Makkah. KH. Abdullah bin Nuh pernah dibawa bermukim di Makkah kurang lebih 2 tahun, pada saat itu ia masih balita, dan tinggal bersama Nyi Raden Kalifah Resti yaitu nenknya dari ayah. Dari pengalaman tinggal di Makkah itu lah, menurut beberapa sumber, bakatnya berkembang untuk menjadi penyair dan sastrawan Arab. Dengan kecerdasan yang dimiliki dan keuletan beliau dalam belajar, menghantarkan R. Abdullah bin Nuh kecil menjadi murid yang sangat unggul, di usianya yang baru 8 tahun sudah menguasai bahasa Arab. Juara Al Fiyah, sanggup menghafal Al Fiyah Ibnu Malik dari awal sampai akhir, bahkan membaca dibalik dari akhir sampai awal.

Menjelang tahun 1928, Madrasah Al I’anah memberikan gelar dakhiliyyah kepada 6 orang murid pilihan dan salah satu yang terpilih adalah KH. Abdullah bin Nuh. Ke 6 orang murid tersebut diberangkatkan ke Pekalongan untuk bermukim di Pondok Pesantren Syamailul Huda, yang dipimpin oleh seorang Guru Besar yaitu Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir Al Alawi Al Hadromi. Pondok pesantren Syamailul Huda laksana Masjidil Harom dan Darul Arqam pada zaman Rasulullah Saw. Sebagai murid kesayangan  Sayyid Muhammad bin Hasyim, R. Abdullah pada tahun 1922 ikut diboyong hijrah ke Surabaya dan di Surabaya tersebut Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan “Hadrolmaut School” yang digambarkan bagaikan masjid Quba di Madinah sewaktu Rasulullah Saw mulai menginjakkan kakinya di bumi  Madinatul Munawaroh. Setelah lulus dari “Hadrolmaut School” pada tahun 1925, Dalam upaya memperdalam ilmu agama di tingkat perguruan tinggi, Sayyid Muhammad bin Hasyim membawa R. Abdullah bersama 15 orang murid pilihan lainnya untuk belajar ke Mesir. Pada saat itu Mesir hanya ada 2 perguruan tinggi yaitu Jamiatul Azhar (Syariah) dan Madrasah Darul Ulum Al Ulya (Al-Adaab).

Di Mesir Mama tidak menjadi mahasiswa, tetapi melakukan proses belajar talaqqi (belajar ilmu agama secara langsung kepada guru yang mempunyai kompetensi ilmu, tsiqah, dhabit dan mempunyai sanad keilmuan yang muttashil sampai ke Rasulullah Saw melalui para ‘Ulama ‘Amilin ‘Arifin) terhadap para guru dan ulama di sana, dan hal itulah yang membuat mama semakin matang, pengalaman tersebut di tuliskan dalam buka “Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun”. Di Mesir mama hanya 2 tahun, namun beliau memanfaatkan waktu tersebut dengan sangat optimal.

Kiprah KH. Abdullah bin Nuh Dalam Perjuangan Kemerdekaan

Pada bulan November 1943 atau lebih kurang setahun setelah tentara Jepang masuk ke Indonesia, mereka merangkul kalangan pesantren dan para ulama untuk membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air) dimana Abdullah bin Nuh menjadi salah satu anggotanya bahkan sempat menjabat komandan (daidanco) pada 1943-1945 untuk wilayah Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Situasi saat itu sangatlah kritis. Di Surabaya, Syaikh Sayyid Muhammad bin Hasyim yang merupakan guru tercinta KH. Abdullah bin Nuh, juga di Tasikmalaya ulama besar KH. Zainal Musthofa dan banyak lagi ulama dan pejuang yang di tangkap dan di penjara oleh Jepang. Tidak terima dengan kondisi seperti itu maka para pejuang PETA pun akhirnya memberontak melawan Jepang. Dorongan untuk senantiasa tetap berada di medan perjuangan begitu kuat, sehingga tahun 1945-1946, beliau di percaya untuk memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada saat agresi militer Belanda ke dua, KH. Abdullah bin Nuh telah aktif menjadi wartawan APB (Arabian Pers Borad) dan anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat cikal bakalnya MPR-DPR Indonesia di Yogyakarta). KH. Abdullah bin Nuh beserta rombongan wartawan APB di tangkap dan di tawan oleh Belanda di Bekasi. KH. Abdullah bin Nuh pun pernah di tangkap dan di vonis hukuman mati, namun beliau dapat meloloskan diri dan bersembunyi, lalu dengan nama samaran menuju Jakarta dan berlindung di rumah Muhammad Asad Shahab. Dalam mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, Abdullah bin Nuh mendapat kepercayaan sebagai pimpinan Desk Siaran Khusus dalam bahasa Arab, ia pernah menjabat sebagai kepala seksi siaran luar negeri berbahasa Arab di RRI pusat di Jakarta yang didudukinya cukup lama. Siaran tersebut bertujuan menggalang dukungan Internasional terhadap kemerdekaan RI yang baru saja di proklamasikan.

Kiprah KH. Abdullah bin Nuh Dalam Dunia Pendidikan

KH. Abdullah bin Nuh terlibat dalam proses mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang merupakan cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Tahun 1945-1950 beliau menjabat sebagai Lektor Muda Luar Biasa pada UII Yogyakarta. Tahun 1949 dimana ibukota RI kembali ke Jakarta, KH. Abdullah bin Nuh ikut pindah ke Jakarta dan ia pernah menjadi Dosen UI (Universitas Indonesia) bagian sastra Arab, Lektor Kepala pada Fakultas Sastra, Pemimpin Majalah Pembina, Ketua Lembaga Penelitian Islam (Islamic Research Institute), dan pernah menjabat pula sebagai ketua Yayasan Ukhuwah Islamiyyah di Jakarta. Ketika pindah ke Bogor, ia mendirikan sebauh majelis Ta’lim bernama Al-Ghazali, majelis ta’lim tersebut berkembang menjadi Yayasan Pendidikan Islam yang bernama Yayasan Islamic Centre (YIC) Al Ghazali.

Karya – Karya Tulis KH. Abdullah bin Nuh

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline