Beberapa tahun terakhir, Jakarta, Surabaya hingga Bali sudah lebih dulu dilanda "demam padel". Padel merupakan perpaduan tenis dan squash, permainan ini bukan hanya sekadar soal keringat tetapi juga gaya hidup yang seru, sosial dan penuh warna. Media sosial pun ikut menjadi panggung karena setiap momen bermain padel terasa "Instagrammable". Kini gaung itu perlahan mulai terdengar di Semarang. Pertanyaan pun muncul: apakah padel hanya tren singkat yang segera padam atau justru peluang bisnis baru bagi anak muda khususnya Gen Z?
Jika dilihat secara global, padel jelas bukan sesuatu yang baru. Di Eropa dan Amerika Latin, olahraga ini sudah lama menjadi bagian gaya hidup kelas menengah urban. Padel bukan hanya soal olahraga, melainkan juga tempat nongkrong sekaligus sarana memperluas jejaring sosial. Kini gelombang itu merembes ke Indonesia. Lapangan padel tumbuh di kota-kota besar, dipenuhi anak muda yang mencari pengalaman berbeda. Menariknya, tidak hanya generasi muda yang ikut tetapi generasi X dan milenial pun turut memeriahkan.
Semarang sendiri kini mempunyai peluang emas untuk tampil sebagai pionir di Jawa Tengah. Sebagai orang Semarang, saya melihat anak muda di kota ini memang cepat menangkap tren baru. Khususnya anak Gen Z yang sangat digital, suka berbagi konten dan gemar mencoba sesuatu yang unik sehingga padel jelas cocok dengan karakter mereka. Dari raket yang bergaya, lapangan yang futuristik, sampai suasana main yang gampang didokumentasikan, semuanya mudah menjadi bahan konten lifestyle.
Lebih dari itu, saya perhatikan banyak anak muda Semarang yang mempunyai jiwa bisnis. Mereka biasanya tidak puas hanya ikut tren saja, tetapi ingin menciptakan peluang cuan dari tren tersebut. Apalagi pilihan hiburan olahraga modern di Semarang masih terbatas. Futsal, basket atau badminton memang sudah ada tetapi rasanya terlalu biasa. Jika padel hadir lebih awal, saya yakin bisa menjadi ikon baru di kalangan mahasiswa maupun kelas menengah yang sedang berkembang di kota ini. Jika lapangan padel berdiri di kawasan dekat kampus seperti Tembalang atau Bendan yang ramai dengan mahasiswa itu bisa menjadi peluang untuk bisnis ini. Anak muda tidak hanya punya tempat olahraga baru, tetapi juga ruang berkumpul yang bisa hidup dengan nuansa komunitas.
Dari sisi bisnis, banyak skema bisa dirancang misalnya: membuat lapangan padel dengan patungan bersama investor lokal, menggelar turnamen mini yang dikemas ala festival musik kecil, sampai membangun ekosistem pendukung seperti penyewaan raket, brand sportwear lokal atau cafe olahraga sebagai tempat nongkrong setelah main. Semua itu bisa dikembangkan sesuai gaya khas Gen Z: kreatif, digital-first dan berbasis komunitas.
Gen Z bisa menerapkan beberapa promosi melalui TikTok dan Instagram, sehingga kedua platform itu bisa menjadi motor penggerak popularitas padel. Ditambah kolaborasi dengan coffee shop indie atau musisi lokal Semarang, pengalaman olahraga ini bisa terasa semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari anak muda. Yang penting, jangan sampai padel dilabeli sebagai olahraga elite. Paket harga mahasiswa akan membuatnya menjadi lebih inklusif tanpa kehilangan kesan eksklusif. Dampak ekonominya juga tidak main-main. Padel bisa membuka lapangan kerja baru mulai dari pelatih, penyelenggara event hingga pekerja cafe. Bahkan, olahraga ini berpotensi dikemas sebagai magnet wisata baru yang mengangkat citra Semarang sebagai kota modern, dinamis dan ramah generasi muda.
Bagi saya pribadi, padel di Semarang bukan sekadar olahraga memukul bola tetapi mencerminkan bagaimana generasi muda bisa mengubah tren global menjadi peluang lokal. Padel sudah hadir di depan pintu Semarang. Tinggal pertanyaannya, apakah Gen Z di kota ini akan sekedar menjadikannya hobi atau berani mengolahnya menjadi mesin cuan yang menjanjikan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI