Lihat ke Halaman Asli

Ervan Yuhenda

Independen

Terbangun dari Tidur Panjang

Diperbarui: 1 September 2025   22:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber:Koleksi Dok Pribadi)

Hari itu, bumi berguncang dengan dahsyat. Getarannya menembus tulang, menghantam hati, membuat segala yang kokoh runtuh dalam sekejap. Tidak ada satu pun makhluk yang bisa berpura-pura tidak mendengarnya. Gunung-gunung yang dahulu kokoh menjulang, yang sering kau lihat dalam perjalanan hidupmu, kini terangkat dari tempatnya, hancur berhamburan, beterbangan seperti kapas dihembus angin. Lautan mendidih dengan suara gemuruh yang menakutkan, seolah-olah seluruh isinya ingin keluar dari perut bumi, seperti panci raksasa di atas api yang menyala. Langit yang dulu biru tenang, teduh, kini terbelah, memperlihatkan cahaya yang tak pernah terlihat sebelumnya, cahaya yang menyilaukan, menembus hingga ke dalam dada manusia, membongkar segala rahasia yang pernah mereka sembunyikan.

Kamu terbangun. Bukan terbangun dari tidur siang yang ringan, bukan pula dari mimpi panjang yang bisa dilupakan begitu saja. Kamu terbangun dari tidur panjangmu, tidur yang disebut kematian, kamu bangkit, berdiri dengan tubuh yang berbeda dari tubuhmu di dunia. Tidak dengan rasa kantuk, tidak dengan rasa lelah seperti di dunia, melainkan dengan kesadaran yang begitu penuh. Tubuhmu ringan, seolah beban yang selama ini kau tanggung lenyap bersama bumi yang luluh lantak. Kamu menyentuh wajahmu, menggerakkan tanganmu, dan menyadari bahwa sakit yang dulu sering kau keluhkan telah hilang. Kamu meraba wajahmu, tidak keriput, tidak ada luka, tidak ada penyakit, tidak ada lagi nyeri di sendi, tidak ada rasa letih, tidak ada haus yang mencekik. Tubuhmu sempurna seolah dilahirkan kembali. Namun, ada satu rasa yang menggantikan semua itu, rasa takut bercampur harap.

Kamu berdiri di tengah lautan manusia yang juga baru saja bangkit. Wajah-wajah beraneka rupa di sekelilingmu. Ada yang berseri-seri penuh cahaya, senyum mereka memantul indah. Namun ada pula yang pucat pasi, mata mereka liar, dipenuhi ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka menoleh ke kiri dan ke kanan, wajah mereka penuh kebingungan. Ada yang langsung tersungkur menangis, ada yang menjerit ketakutan, ada yang terdiam kaku. Kamu menunduk. Kamu tahu ini bukan mimpi. Kamu tahu, hari itu telah tiba. Hari yang sering kau dengar dalam doa-doa, dalam ayat-ayat, hari ketika tidak ada lagi yang bisa disembunyikan, hari kebangkitan.

Hati kecilmu bergetar. Bibirmu kelu, tapi air matamu mengalir tanpa kau minta. Dalam kerumunan itu, kau berbisik lirih, lebih kepada hatimu sendiri daripada siapa pun.

"Ampunilah aku."

Bisikan itu tenggelam dalam gemuruh manusia yang digiring berbondong-bondong menuju satu arah. Ada malaikat-malaikat yang besar, berdiri gagah, wajah mereka tegas, di mata mereka tidak ada rasa kejam, hanya kebenaran yang tak bisa diganggu gugat, sayap - sayap mereka membentang, wajah mereka penuh wibawa. Mereka menuntun manusia, tempat seluruh perhitungan akan dilakukan, tidak ada yang bisa melawan, tidak ada yang bisa berpaling. Semua manusia digiring menuju satu tempat. Tanah luas tanpa batas, tanpa pepohonan, tanpa bangunan, hanya manusia sebanyak-banyaknya, berdesak-desakan, menunggu giliran untuk diadili.

Kamu ikut berjalan, langkahmu goyah, berat, bibirmu kelu, namun hatimu tak henti berdoa, air matamu mengalir pelan. Setiap detik semakin menyadarkanmu bahwa hari itu adalah hari penentuan. Tidak ada lagi pangkat, tidak ada lagi harta, tidak ada lagi alasan yang bisa dibuat-buat. Semua akan terbuka.

Sampailah kamu. Pemandangan yang kamu lihat membuat hatimu kian bergetar. Lautan manusia membentang, dari ujung ke ujung, tidak terhitung jumlahnya. Semua berdiri dengan wajah gelisah, mata penuh harap sekaligus takut. Tidak ada lagi perbedaan. Raja dan rakyat, kaya dan miskin, kuat dan lemah, semuanya berdiri sama. Mereka hanya membawa satu hal, amal.

Suasana itu menyesakkan. Panas begitu terik, matahari didekatkan. Keringat manusia bercucuran deras, masing-masing sesuai kadar amalnya. Ada yang tenggelam sampai mata kaki, ada yang sampai dada, bahkan ada yang nyaris tenggelam seluruhnya dalam peluh mereka sendiri. Kamu merasakan keringatmu mengalir, tapi anehnya tubuhmu tetap bertahan, seakan diberi kekuatan untuk menunggu saat yang pasti akan tiba.

Di tengah keramaian itu, terdengar suara-suara manusia. Kamu menoleh, mendengarkan. Ada yang merintih, "Andai saja aku lebih taat, andai aku tidak lalai..." Ada yang menjerit, "Kembalikan aku ke dunia, hanya sehari saja, aku ingin memperbaiki diriku..." Ada pula yang wajahnya tenang, meski tubuhnya bergetar, mereka berbisik doa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline