Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Sudahkah Kita Benar-Benar Merdeka?

Diperbarui: 17 Agustus 2025   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kemiskinan (jdih.sukoharjokab.go.id)

Setiap kali bulan Agustus datang, bendera merah putih berkibar di seluruh penjuru negeri. Jalanan ramai dengan lomba tujuh belasan, musik perjuangan berkumandang, dan kita semua merayakan kemerdekaan dengan penuh semangat. Namun, di balik euforia itu ada pertanyaan yang sering kali kita abaikan: apakah kita benar-benar sudah merdeka? Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tetapi jawabannya jauh lebih rumit daripada sekadar ya atau tidak.

Kemerdekaan bukan hanya perkara simbolis tentang lepas dari penjajahan asing. Kemerdekaan sejati jauh lebih dalam: ia berbicara tentang kebebasan menentukan arah hidup, tentang bagaimana rakyat bisa sejahtera tanpa takut diperlakukan tidak adil, dan tentang ruang bebas untuk berpikir serta berpendapat. Merdeka bukanlah perayaan satu hari, melainkan proses panjang yang seharusnya dirawat setiap saat.

Merdeka di Atas Kertas, Terjajah dalam Realita

Secara konstitusional, bangsa ini merdeka sejak 17 Agustus 1945. Kita tidak lagi tunduk pada penjajah yang menguasai tanah, laut, dan udara kita. Namun, jika ditanya apakah kemerdekaan itu benar-benar hidup dalam keseharian rakyat, jawabannya tidak sesederhana itu.

Banyak orang merasa merdeka hanya berhenti pada simbol. Kita bisa bernyanyi Indonesia Raya, mengibarkan bendera, dan menyebut diri bangsa yang berdaulat. Tetapi dalam kehidupan nyata, kita masih menghadapi bentuk penjajahan lain. Bukan lagi dari bangsa asing yang datang dengan kapal perang, melainkan dari sistem dan struktur sosial yang tidak adil.

Coba lihat bagaimana kekayaan alam kita dikelola. Pulau-pulau kita kaya dengan tambang, laut penuh dengan ikan, hutan luas membentang. Namun, pertanyaan yang selalu mengganjal adalah: siapa yang benar-benar menikmati kekayaan itu? Banyak tambang dikuasai oleh segelintir korporasi besar, sebagian di antaranya bahkan berasal dari luar negeri. Rakyat yang tinggal di sekitar tambang sering kali justru merasakan dampak buruknya: udara tercemar, tanah rusak, dan mata pencaharian hilang. Jika rakyat sendiri tidak bisa menikmati hasil bumi, lalu apa arti merdeka?

Merdeka di Era Digital Antara Bebas dan Terjebak

Zaman sekarang, kebebasan tidak hanya berbicara soal politik atau ekonomi. Dunia digital telah membuka ruang baru untuk menyuarakan pendapat, berbagi informasi, bahkan membangun gerakan sosial. Kita bisa menulis di media sosial, membuat konten, atau berdiskusi tentang isu apapun secara terbuka. Sekilas, ini adalah bentuk kemerdekaan modern.

Tetapi, jika dilihat lebih dalam, ruang digital justru menyimpan jebakan baru. Kita seolah bebas bersuara, tetapi pada kenyataannya dibatasi oleh algoritma. Platform digital raksasa mengatur informasi apa yang muncul di beranda kita, siapa yang melihat postingan kita, dan isu apa yang sedang ramai diperbincangkan. Akibatnya, kita tidak benar-benar bebas memilih informasi. Kita lebih sering diarahkan untuk melihat apa yang sistem ingin kita lihat.

Di sisi lain, kebebasan berekspresi di media sosial juga sering menjadi bumerang. Banyak orang takut bersuara karena khawatir berhadapan dengan pasal karet atau serangan balik dari pihak yang tidak suka. Kebebasan digital yang seharusnya merdeka justru sering berakhir dengan perasaan terjebak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline