Lihat ke Halaman Asli

Fitria PutriAdinda

Mahasiswa Psikologi Universitas Malikussaleh

Luka Batin dari Rumah: Kekerasan Keluarga dalam Kacamata Psikoanalisis

Diperbarui: 15 Mei 2025   03:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Rumah seharusnya menjadi tempat kita pulang dan melepas penat. Namun, bagaimana jika rumah yang bagi orang lain terasa sebagai tempat ternyaman, justru bagi kita terasa seperti neraka? Mereka yang seharusnya dapat mendengarkan segala keluh kesah kita, justru malah membuat kita merasa sangat tidak nyaman. Bentakan, hinaan, ataupun cacian memenuhi seisi rumah.Apalagi semua suara yang tidak menyenangkan itu telah terdengar sejak kecil hingga sekarang.

  Dalam kajian psikoanalisis, kekerasan dalam keluarga sangat memengaruhi kesehatan mental anggota keluarganya. Teori ini menekankan bahwa pengalaman masa kanak-kanak, konflik bawah sadar, dan relasi antaranggota keluarga membentuk kepribadian serta kesehatan mental mereka.

   Menurut Freud dan tokoh psikoanalisis lainnya, pengalaman masa kecil terutama yang tidak menyenangkan memiliki dampak jangka panjang terhadap kondisi psikologis seseorang. Kekerasan dalam keluarga, baik secara verbal, fisik, maupun emosional, dapat menciptakan trauma masa kecil yang tertanam dalam diri individu. Kita sering mendengar bahwa pengalaman yang paling kita ingat adalah pengalaman yang paling mengesankan atau yang paling menyakitkan. Coba bayangkan, pengalaman tidak menyenangkan yang dialami seseorang sejak kecil terus menerus tertanam dalam alam bawah sadar dan menghantuinya entah sampai kapan.

  Kekerasan, terutama kekerasan dalam keluarga, dapat menimbulkan konflik emosional yang ditekan ke dalam alam bawah sadar mereka. Misalnya, seorang anak yang mengalami kekerasan dari orang tuanya akan menekan rasa marah, takut, bahkan benci ke dalam alam bawah sadar karena merasa tidak ada yang mendengarkan emosinya. Mereka merasa bahwa mengungkapkan perasaan tersebut akan sia-sia dan justru memperburuk keadaan. Mereka takut, jika mengungkapkan emosinya, keadaan di rumah yang sudah berantakan justru akan semakin kacau. Lantas, siapa yang bisa menjadi tempat ternyaman bagi mereka untuk mengungkapkan perasaan mereka? 

     Kekerasan dapat memengaruhi struktur kepribadian individu, yakni id, ego, dan superego. Kekerasan yang terus-menerus dialami dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara ketiga komponen ini. Kekerasan yang mereka rasakan dapat menyebabkan individu mengalami ketidakstabilan emosi, sehingga id menjadi lebih dominan dan sulit untuk dikendalikan. Ketika id cenderung lebih dominan, individu akan lebih cenderung bertindak agresif dan tidak dapat mengendalikan diri mereka.Kekerasan tidak hanya memengaruhi id, tetapi juga superego mereka. Kekerasan dapat merusak nilai moral dan etika individu, sehingga superego menjadi lemah dan tidak efektif. Selain itu, kekerasan juga dapat meningkatkan rasa bersalah dan malu, yang membuat superego menjadi terlalu keras, menyebabkan individu lebih rentan terhadap stres dan gangguan mental.

   Kekerasan juga mempengaruhi struktur kepribadian terakhir yakni ego.Pada situasi ini ego mungkin mengembangkan mekanisme pertahanan diri yang tidak sehat untuk mengatasi stres psikologis seperti repression (penekanan), denial (penyangkalan), displacement (pengalihan emosi), atau projection (proyeksi) . Mekanisme pertahanan diri ini jika terus menerus digunakan dapat menyebabkan seseorang menderita kesehatan mental.

    Dalam cabang psikoanalisis, yakni teori relasi objek, dijelaskan bahwa hubungan awal dengan pengasuh (biasanya orang tua) sangat penting dalam membentuk identitas dan kemampuan individu dalam menjalin hubungan. Kekerasan yang dialami seseorang, terutama dari anggota keluarga seperti ibu, dapat menyebabkan individu tersebut mengalami kesulitan dalam membangun kepercayaan terhadap orang lain, menjalin hubungan yang sehat, bahkan membentuk citra diri yang stabil.   

   Dalam jurnal yang berjudul "Dampak Trauma Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap Perkembangan Psikis Anak " disebutkan bahwa pengalaman menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga dapat menyebabkan post-traumatic stress disorder (PTSD) pada anak. Dampaknya meliputi perilaku agresif, depresi, penarikan diri, dan kesulitan dalam hubungan sosial.Penelitian ini juga menyoroti bagaimana trauma masa kecil dapat memengaruhi perilaku sosial dan perilaku individu di masa dewasa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teori psikoanalisis benar adanya, bahwa kekerasan dalam rumah tangga sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang.

   Berdasarkan teks di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga berdampak serius terhadap perkembangan psikologis korban, khususnya anak-anak. Pendekatan psikoanalisis menunjukkan bahwa pengalaman traumatis di masa kecil, seperti menyaksikan atau mengalami kekerasan, dapat membentuk pola perilaku dan kesehatan mental seseorang hingga dewasa. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, baik keluarga, masyarakat, maupun pemerintah, untuk memberikan perlindungan dan dukungan psikologis yang memadai bagi korban, agar dampak jangka panjang dari kekerasan ini dapat diminimalkan seminimal mungkin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline