Lihat ke Halaman Asli

Ruang Lingkup Komunikasi Profetik: Etika Verifikasi (Tabayyun) dan Tanggung Jawab Bermedia

Diperbarui: 14 Oktober 2025   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ruang Lingkup Komunikasi Profetik: Etika Verifikasi (Tabayyun) dan Tanggung Jawab Bermedia

Pendahuluan

Di masa kini yang penuh dengan aliran informasi yang cepat, manusia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kebenaran dan tanggung jawab saat menggunakan media. Media sosial kini menjadi tempat umum yang penuh dengan pendapat, berita, dan cerita yang sering kali belum terverifikasi kebenarannya. Dalam konteks islam, hal ini membutuhkan pendekatan komunikasi yang tidak hanya sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral, etika, dan hal-hal yang melebihi dunia. Di sini lah pentingnya pendekatan komunikasi seperti komunikasi profetik, yaitu cara menyampaikan pesan dengan menggabungkan nilai-nilai kenabian dalam dunia komunikasi modern.

Ruang Lingkup Komunikasi Profetik

Komunikasi profetik adalah bentuk komunikasi yang didasarkan pada nilai-nilai kenabian, yaitu tiga dimensi utama: humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahy al-munkar), dan transendensi (tu'minuna billah). Dalam konteks komunikasi, ketiga dimensi ini menjadi dasar etis yang mengarahkan manusia untuk berkomunikasi secara bertanggung jawab dan mengutamakan kemaslahatan. Cakupan komunikasi profetik tidak hanya terbatas pada menyampaikan pesan agama, tetapi juga mencakup berbagai bentuk komunikasi sosial yang bertujuan membangun kehidupan beradab, membebaskan dari ketidakadilan, serta memperkuat nilai ketuhanan. Dengan demikian, komunikasi profetik menjadi panduan bagi manusia agar tidak hanya sebagai penyampai pesan, tetapi juga sebagai penjaga moral dalam masyarakat.

Etika Verifikasi (Tabayyun) dalam Perspektif Profetik

Salah satu prinsip penting dalam komunikasi profetik adalah tabayyun, yang merupakan proses memverifikasi atau mengklarifikasi suatu informasi sebelum disebarluaskan. Prinsip ini berasal dari firman Allah dalam Surah Al-Ḥujurāt [49]: 6: “Hai orang-orang yang beriman, jika ada orang fasik yang membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpa musibah kepada suatu kelompok tanpa mengetahui keadaannya, sehingga kalian menyesal karena perbuatan kalian itu.”

Ayat ini menunjukkan bahwa proses verifikasi informasi bukan hanya bagian dari etika komunikasi, tetapi juga merupakan perintah moral dan spiritual. Dalam konteks media sosial, tabayyun menjadi bentuk tanggung jawab sosial untuk memastikan informasi yang dibagikan tidak menyebabkan fitnah, kebencian, atau disinformasi. Menurut Nasrullah, tabayyun merupakan pondasi etika bermedia dalam Islam yang mengajarkan pengguna untuk berhati-hati dalam memilih sumber informasi serta mempertimbangkan dampak sosial dari penyebarannya. Dengan demikian, etika tabayyun tidak hanya sekadar kegiatan mencari kebenaran, tetapi juga praksis moral yang mencerminkan dimensi humanisasi dalam komunikasi profetik. Seorang komunikator profetik tidak hanya berorientasi pada “siapa yang benar”, tetapi juga pada “bagaimana kebenaran itu disampaikan dengan adab dan tanggung jawab”.

Tanggung Jawab Bermedia sebagai Bentuk Liberasi

Selain tabayyun, lingkup komunikasi profetik juga menekankan tanggung jawab dalam bermedia sebagai bentuk dari nahy al-munkar, yaitu upaya membebaskan. Dalam dunia digital, tanggung jawab ini berarti seseorang harus mampu menghindari menyebarkan berita palsu, ucapan kasar, atau informasi yang dikotak-kotakkan. Seorang komunikator profetik bertugas untuk melepaskan masyarakat dari ikatan informasi yang salah, yang bisa menghalangi kebenaran publik. Hafiz menekankan bahwa literasi digital yang didasarkan pada nilai-nilai profetik harus membangun kesadaran bahwa setiap tindakan dalam bermedia merupakan cerminan dari moral seseorang. Artinya, saat menekan tombol "bagikan" atau "unggah", seseorang harus sadar akan dampak etisnya terhadap masyarakat. Karena itu, tanggung jawab dalam bermedia membutuhkan pikiran kritis dan kesadaran spiritual agar komunikasi di dunia digital tetap mencerminkan keadilan dan nilai kemanusiaan.

Integrasi Nilai Transendensi dalam Ruang Digital

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline