Lihat ke Halaman Asli

Pekik Aulia Rochman

TERVERIFIKASI

Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

Mencegah PHK Massal, Ujian Nyata Kedaulatan Rakyat

Diperbarui: 4 September 2025   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: cover topik/ PHK / Aristya rahadian via cnbcindonesia.com

Gelombang PHK massal sedang jadi momok besar di negeri ini. Hingga Juni 2025, data resmi Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 42.385 pekerja di-PHK, naik 32% dibanding periode yang sama tahun lalu. Jika menghitung klaim JHT dan laporan serikat buruh, jumlahnya bisa mencapai 60--70 ribu orang. Jawa Tengah tercatat paling terpukul dengan 10.995 pekerja kehilangan mata pencaharian, disusul Jawa Barat (9.494) dan Banten (4.267). Angka-angka ini menegaskan: posisi buruh, terutama yang berstatus kontrak, semakin rapuh dan penuh ketidakpastian.

Keresahan inilah yang kemudian melahirkan rangkaian "17+8 Tuntutan Rakyat" dalam aksi besar di Senayan dan berbagai daerah. Awalnya, massa merumuskan 17 tuntutan utama terkait keadilan sosial, transparansi anggaran, hingga penghentian arogansi elit. Lalu berkembang dengan 8 tuntutan lanjutan yang lebih teknis, salah satunya soal perlindungan pekerja. Dari sekian banyak tuntutan, ada satu yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat: pemerintah harus mencegah PHK massal dan melindungi buruh kontrak.

Tuntutan ini lahir bukan dari emosi sesaat, melainkan dari realita pahit: harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja makin sempit, sementara jaring pengaman sosial belum cukup kuat. Pertanyaannya kini, apakah DPR dan pemerintah sungguh mendengar? Ataukah mereka masih sibuk mengurus tunjangan dan kepentingan politik yang jauh dari penderitaan rakyat?

Realitas Ancaman PHK

Ancaman PHK massal di tahun 2025 bukan lagi sekadar isu, tapi kenyataan yang sudah menimpa puluhan ribu pekerja. Data resmi Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, hingga Juni 2025 sudah ada 42.385 orang di-PHK, naik 32,1% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Jika menghitung klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan, angka korban bisa jauh lebih besar---diperkirakan mencapai 60.000--70.000 pekerja.

Penyebab PHK ini beragam: melemahnya daya beli, tekanan biaya produksi, hingga perusahaan yang tak sanggup bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Namun, dampaknya satu: rakyat kecil jadi korban paling nyata. Buruh kontrak dan outsourcing adalah kelompok paling rentan, karena kontrak kerja mereka bisa diputus kapan saja tanpa perlindungan yang kuat.

Distribusi wilayah juga menunjukkan pola serius. Jawa Tengah menjadi daerah dengan PHK tertinggi, yakni 10.995 orang, disusul Jawa Barat 9.494 dan Banten 4.267. Angka ini menggambarkan rapuhnya sektor padat karya di sentra industri. Banyak dari pekerja yang terkena PHK adalah buruh pabrik tekstil, garmen, hingga manufaktur ringan---industri yang selama ini menyerap tenaga kerja dengan kontrak jangka pendek.

Di balik angka-angka itu, ada kisah nyata: seorang buruh tekstil di Semarang yang sudah 7 tahun bekerja dengan sistem kontrak, harus pulang dengan tangan kosong karena pabriknya tutup mendadak. Ia bukan hanya kehilangan gaji, tapi juga rasa aman, karena jaminan kerja sama sekali tak ada. Kasus semacam ini menunjukkan bahwa PHK bukan sekadar data statistik, melainkan tragedi sosial yang merobek kehidupan keluarga kecil di Indonesia.

DPR dan Arogansi Elit -- Belajar dari Kasus Salsa Erwina

Di tengah rakyat yang resah dengan ancaman PHK massal, publik justru disuguhi potret ironi dari parlemen. Alih-alih membahas solusi bagi buruh kontrak dan pekerja yang kehilangan pekerjaan, sebagian anggota DPR malah larut dalam polemik kenaikan tunjangan fantastis. Situasi ini semakin panas ketika Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, menyebut rakyat yang menyerukan pembubaran DPR sebagai "mental orang tolol sedunia."

Ucapan inilah yang memantik keberanian Salsa Erwina Hutagalung, seorang diaspora berprestasi di Denmark, untuk menantang Sahroni dalam debat terbuka soal tunjangan DPR. Salsa menegaskan: jika tunjangan sebesar itu memang berkontribusi nyata bagi rakyat, buktikan dengan argumen. Jika tidak, rakyat berhak marah. Tantangan Salsa seketika menjadi simbol perlawanan moral rakyat terhadap arogansi elit.

Kisah ini sebenarnya menggambarkan jurang besar antara elit dan rakyat. Di satu sisi, buruh kontrak cemas apakah besok masih punya pekerjaan. Di sisi lain, elit politik sibuk mengamankan tunjangan puluhan juta. Sungguh kontras: rakyat menuntut kepastian hidup, sementara wakilnya menuntut kenyamanan hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline