Masih segar dalam ingatan masyarakat Bima sebuah peristiwa kelam yang terjadi lebih dari satu dekade lalu. Tepatnya pada tahun 2011, tanah Sape dan Lambu menjadi saksi penolakan besar-besaran terhadap kehadiran perusahaan tambang. Penolakan tersebut tidak hanya berujung pada demonstrasi, tetapi juga memunculkan tragedi berdarah yang hingga kini masih membekas di benak masyarakat. Trauma sejarah itulah yang membuat kabar terbaru mengenai isu kehadiran perusahaan tambang di Desa Poja, Kecamatan Sape, kembali memantik keresahan publik, terutama di jagat media sosial seperti Facebook (FB) .
Penulis sendiri pertama kali mengetahui isu ini saat membuka aplikasi FB dan mendapati unggahan beberapa teman, salah satunya akun bernama Arif Rahman Ahmad yang diunggah tanggal 25 September 2025. Dalam unggahannya, ia mengabarkan adanya perusahaan tambang yang disebut-sebut akan beroperasi di wilayah administratif Desa Poja. Hal ini diperkuat dengan tersebarnya video sosialisasi oleh pihak yang katanya dari pihak perusahaan tambang di salah satu kediaman masyarakat Desa Poja di hari yang sama. Isu ini semakin menggelitik perhatian karena Desa Poja sendiri sedang diliputi berbagai persoalan, mulai dari belum tuntasnya perizinan operasional tambak udang hingga kasus hukum yang menjerat Kepala Desa Poja, Bapak Robi Darwis, terkait insiden pembakaran kantor Inspektorat Kabupaten Bima.
Secara geografis, Desa Poja adalah desa dengan wilayah terluas di Kecamatan Sape, yaitu mencapai 61,19 km (BPS). Dari 18 desa yang ada di kecamatan ini, Poja juga menjadi desa dengan lokasi paling jauh dari pusat ibu kota kecamatan, dengan jarak sekitar 15 km. Kondisi geografis yang luas, ditambah kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, membuat desa ini dianggap memiliki potensi besar untuk dieksploitasi.
Tak heran jika dalam beberapa tahun terakhir, Desa Poja menjadi incaran para pelaku usaha, baik lokal, nasional, maupun asing. Beberapa aktivitas usaha yang sudah berjalan antara lain tambak udang milik pengusaha lokal Sape serta pembangunan villa milik warga negara asing. Potensi ini bisa menjadi berkah bagi pembangunan desa, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah serius jika tidak dikelola secara bijak.
Antara Pembangunan dan Ancaman
Hadirnya dunia usaha dan industri memang kerap dijadikan indikator percepatan pembangunan daerah. Aktivitas ekonomi skala besar diyakini dapat membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan asli daerah, serta mendatangkan investasi baru. Namun, jika implementasinya tidak diatur dengan regulasi yang jelas dan ketat, justru akan menjadi bumerang.
Logika dunia usaha adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Dalam proses itu, kepentingan masyarakat lokal sering kali diabaikan. Inilah yang dikhawatirkan terjadi di Desa Poja jika isu kehadiran tambang benar-benar terbukti
Pertambangan adalah aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang berisiko tinggi. Komoditas seperti minyak bumi, gas alam, batubara, emas, tembaga, hingga nikel, semuanya meninggalkan jejak kerusakan pada lingkungan. Hutan gundul, air tanah tercemar, udara penuh debu, hingga laut yang tidak lagi produktif adalah potret nyata di berbagai daerah tambang di Indonesia.
Selain itu, tambang juga berdampak pada keberlangsungan hidup manusia. Sumber mata air yang tercemar akan menghancurkan pertanian dan merusak ekosistem laut yang menjadi sumber penghidupan nelayan. Belum lagi dampak sosial yang muncul, seperti pergeseran budaya lokal, maraknya prostitusi, narkoba, dan peredaran minuman keras. Dampak tersebut merupakan fenomena yang lazim dan selalu mengikuti kawasan tambang.
Negara sebenarnya sudah mengatur aktivitas pertambangan melalui berbagai instrumen hukum, mulai dari AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), kajian sosiologis, hingga perlindungan terhadap masyarakat adat. Di atas kertas, aturan tersebut tampak rapi dan menjanjikan. Namun, implementasi di lapangan jauh panggang dari api.