Lihat ke Halaman Asli

Gelar Wahid

Mahasiswa STAI Bhakti Persada

Sinergi Barang Publik dan Partisipasi Masayarakat dalam Co-Production Pelayanan Publik di Indonesia

Diperbarui: 12 Oktober 2025   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinergi Barang Publik dan Partisipasi Masyarakat (Gelar Wahid ; 2025)

Dalam konteks administrasi publik modern, penyelenggaraan pelayanan publik tidak lagi menjadi tanggung jawab tunggal pemerintah, melainkan menjadi proses kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu pendekatan yang menggambarkan paradigma baru dalam tata kelola pelayanan publik adalah konsep co-production , yakni keterlibatan aktif warga negara dalam merancang, melaksanakan, hingga menyiarkan layanan publik. Menurut Ostrom (1996), produksi bersama merupakan suatu proses di mana masyarakat dan penyedia layanan publik bekerja sama secara langsung dalam menghasilkan barang atau jasa yang memberikan manfaat bersama. Pendekatan ini memperkuat efektivitas layanan publik serta memperdalam demokrasi partisipatif di tingkat lokal.

Barang publik dan barang privat menjadi dua kategori penting dalam memahami dinamika penyediaan layanan publik. Secara teoritis, Samuelson (1954) mendefinisikan barang publik (public good) sebagai barang atau jasa yang bersifat non-rivalry dan non-excludability , artinya konsumsi oleh satu individu tidak mengurangi ketersediaannya bagi individu lain, serta tidak ada pihak yang dapat membatasi penggunaannya. Contohnya adalah keamanan, penerangan jalan, dan udara bersih. Sebaliknya, barang privat (barang pribadi) bersifat sebaliknya---rival dan eksklusif---dimana penggunaannya terbatas dan dapat dimiliki secara individu, seperti makanan, pakaian, atau layanan berbayar tertentu.

Namun, dalam praktik pelayanan publik di Indonesia, garis pembedaan antara barang publik dan barang privat sering kali kabur. Banyak layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi memiliki unsur ganda: sebagian dapat dipecah menjadi barang publik karena memberikan manfaat sosial yang luas, sementara sebagian lainnya bersifat privat karena pengguna harus membayar atau berpartisipasi secara langsung. Di sinilah peran produksi bersama menjadi sangat relevan. Pemerintah tidak lagi berperan sebagai satu-satunya produsen layanan, tetapi sebagai fasilitator yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan.

Menurut Osborne dan Strokosch (2013), co-production merupakan inti dari paradigma pelayanan publik yang berpusat pada warga (public service-dominant logic ). Dalam kerangka ini, nilai publik (public value ) tidak diciptakan secara sepihak oleh pemerintah, melainkan melalui interaksi antara penyedia dan penerima layanan. Misalnya, dalam pelayanan kebersihan lingkungan, masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga ikut berperan dalam kegiatan gotong royong, daur ulang, atau pengawasan program kebersihan daerah. Pendekatan ini menunjukkan bahwa efisiensi dan kekurangan pelayanan publik sangat bergantung pada tingkat partisipasi dan kesadaran sosial masyarakat.

Implementasi produksi bersama di Indonesia semakin diperkuat dengan adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Pemerintah daerah memiliki keleluasaan untuk mengembangkan model pelayanan publik yang sesuai dengan karakteristik daerah. Dalam hal ini, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi fondasi utama dalam menghasilkan pelayanan yang efektif dan berkeadilan. Bovaird (2007) menyatakan bahwa co-production tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena menciptakan transparansi dan rasa memiliki dalam proses pelayanan.

Selain itu, konsep ini sejalan dengan prinsip good governance yang menekankan partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi. Menurut Denhardt & Denhardt (2003) dalam model New Public Service (NPS) , pemerintah bukanlah entitas yang "mengendalikan" masyarakat, melainkan "melayani" dan "memperkuat" masyarakat agar mampu berpartisipasi aktif dalam menciptakan kebaikan bersama. Oleh karena itu, co-production menjadi wujud nyata dari semangat pelayanan publik yang demokratis dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.

Namun demikian, penerapan produksi bersama tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah keselarasan kapasitas antara pemerintah dan masyarakat dalam memahami peran masing-masing. Banyak masyarakat yang masih memandang pelayanan publik sebagai tanggung jawab penuh pemerintah, bukan sebagai ruang kolaborasi. Tantangan lainnya adalah kurangnya koordinasi lintas sektor, keterbatasan sumber daya manusia, serta resistensi terhadap perubahan paradigma. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan strategi peningkatan literasi masyarakat, penguatan kapasitas kelembagaan, serta penerapan teknologi digital untuk memperluas partisipasi masyarakat secara efektif.

Dengan demikian, penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia yang berbasis co-production tidak hanya menuntut perubahan struktural, tetapi juga kultural. Perlu dibangun kesadaran bahwa keberhasilan pelayanan publik bukanlah hasil kerja satu pihak, melainkan sinergi antara negara dan warga negara. Ketika masyarakat merasa memiliki peran nyata dalam penyediaan barang publik, maka kualitas layanan akan meningkat, rasa tanggung jawab sosial akan tumbuh, dan kepercayaan terhadap pemerintah akan semakin kuat.

Referensi

Bovaird, T. (2007). Melampaui Keterlibatan dan Partisipasi: Koproduksi Layanan Publik antara Pengguna dan Masyarakat . Tinjauan Administrasi Publik, 67(5), 846--860.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline