Di malam itu, langit, bumi, dan api seakan mengikrarkan sumpah mereka
Senja meneteskan cahaya jingga ke atas tanah luas yang berlapis debu. Di tengah lingkaran batu, berdiri sebuah api unggun yang berkobar lembut, seperti jantung purba yang berdetak bagi bumi.
Asapnya naik, membentuk tarian tipis menuju langit, seolah sedang mengantarkan doa-doa yang tak pernah selesai.
Rita duduk di tepi api itu, rambut panjangnya yang hitam berkilau diterpa cahaya api. Ada sesuatu di matanya---sebuah kerinduan yang tak bisa diredam, sebuah panggilan jiwa yang lebih tua dari umurnya sendiri.
Tak lama, dari balik bayangan pepohonan, Fallan muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya bersih, dan senyumnya membawa ketenangan sekaligus percikan api kecil di dada Rita.
Ia duduk di seberang, memandang Rita seperti sedang membaca rahasia langit yang tersimpan di wajahnya.
"Api ini," ucap Fallan pelan sambil menunjuk nyala unggun, "bukan sekadar cahaya. Ia adalah janji. Selama api ini menyala, cinta tak akan pernah padam."
Rita menunduk, jantungnya berdebar. "Tapi bagaimana kalau angin kencang datang, atau hujan mengguyurnya?" tanyanya lirih.
Fallan tersenyum, lalu menggenggam tangannya. Sentuhan itu hangat, sehangat bara. "Maka kita yang akan menjaganya. Seperti aku menjaga kamu."
Suara suling dari kejauhan mulai terdengar---nada-nada spiritual, kuno, dan penuh makna. Seolah seluruh alam mendukung pertemuan mereka malam itu.
Rita merasa dunianya menyusut, hanya menyisakan lingkaran api, dirinya, dan Fallan.