Penghuni Bahari
Di bawah selimut biru yang tak bertepi, laut bernapas pelan---menghembuskan gelombang, menelan cahaya, lalu menumpahkan kehidupan dalam warna dan suara. Di sana, antara batu karang yang berkerut seperti wajah tua, penghuni-penghuni laut hidup dalam irama yang tak pernah berhenti: naik-turun, menari, bertemu, lalu berpisah seperti napas.
Si Kerapu, dengan bintik cokelat seperti peta kecil, suka bersembunyi di sela-sela terumbu. Ia mengintip dunia lewat mata yang sabar, menunggu saat yang tepat untuk menyelinap. Di luar terumbu, rombongan ikan teri melintas seperti butiran perak; mereka bergerak serentak, seakan tahu rahasia menjaga diri dari badai dan predator.
Penyu Tila mengayuh lambat, mengukur luas samudera dengan ritme yang berwibawa. Di punggungnya, tahun-tahun tertumpuk seperti cincin pohon---cerita tentang arus, pantai, telur yang pernah ia pulangkan ke pasir. Tila tahu arah rembulan; di malam-malam tertentu, ia akan berenang jauh hanya untuk menatap garis air yang menyala.
Cumi-cumi kecil, badannya tembus pandang, menulis kata-kata cahaya di air. Ketika ia takut, tinta bukan hanya pelarian: ia melukis jalur-jalur gelap yang membuat lawan bingung, sementara ia meluncur pergi, tertawa kecil. Itu adalah tawa yang hanya didengar oleh karang dan anemon yang menempel di batu.
Di tengah lautan ada sebuah karang tua bernama Rumah Koral. Rumah itu berdenyut oleh kehidupan---ubur-ubur seperti belalai lampu, bintang laut yang merekat tenang, dan kerang-kerang yang menutup diri sambil menyimpan bisik. Burung laut mungkin bernyanyi di atas permukaan, tetapi di bawah, simfoni lain berlangsung: desiran air, gesekan sirip, dan nyanyian tak berbahasa.
Suatu hari, rombongan ikan kecil tersesat ke wilayah baru---lebih gelap, penuh rumput laut yang berjumbai. Mereka panik.
Si Kerapu yang biasanya pendiam, muncul dari celah karang dan berkata, "Tenang. Ikuti aku melewati selimut rumput, jangan berpisah."
Dengan sabar, ia memimpin, dan perlahan, kebingungan berubah menjadi barisan rapi. Pelajaran kecil: keberanian kadang datang dari yang paling tak terduga.
Malam tiba. Permukaan laut memantulkan rembulan seperti piring perak, dan seluruh lautan sejenak terhenti dalam damai. Penyu Tila beristirahat di dasar yang lembut; cumi menutup mata-nyala kecilnya; ikan-ikan teri mengumpul di celah terumbu. Mereka semua tahu, esok akan ada arus baru, tantangan baru, dan juga kejutan-kejutan kecil: benih yang menumbuhkan rumput laut, telur yang akan menetas, atau kapal yang melintas dengan lampu terang.
Laut bukan hanya rumah; ia juga guru. Ia mengajarkan tentang memberi---makanan, tempat berlindung, jarak yang aman. Ia mengajarkan tentang bersabar---melawan ombak besar atau menunggu musim yang tepat. Dan ia mengajarkan tentang kebersamaan---bahwa setiap makhluk, betapapun kecilnya, adalah bagian dari simfoni besar yang membuat lautan hidup.
Di permukaan, manusia memandang laut sebagai cakrawala, tempat berlabuh atau berpetualang. Di bawahnya, penghuni-laut tetap menjaga ritme mereka: hidup, melindungi, dan bercakap dengan bahasa yang tak terdengar kata. Jika kita mendekat dengan lembut, mungkin kita bisa mendengar---bukan suara, tetapi cerita yang mengalir seperti arus: cerita tentang rumah, tentang keberanian, dan tentang cinta yang tak pernah meminta kembali.