Kasus pengawasan hukum terhadap aktivis di Inggris memperlihatkan bahwa demokrasi liberal tidak kebal dari paradoks internal
Fenomena penangkapan massal terhadap aktivis pro-Palestina di Inggris pada Agustus 2025 membuka kembali perdebatan klasik tentang relasi antara keamanan nasional dan perlindungan kebebasan sipil.
Tulisan ini menganalisis bagaimana perangkat hukum anti-terorisme digunakan terhadap kelompok aktivis, memeriksa relevansinya dalam kerangka demokrasi liberal, serta menyoroti implikasi etis, sosial, dan politik.
Dengan pendekatan multidisipliner (hukum, politik, dan filsafat kebebasan), studi ini berusaha memahami batas kewenangan negara dalam mengontrol dissent (perlawanan politik) serta dampaknya bagi legitimasi demokrasi Inggris di panggung internasional.
Pendahuluan
Inggris dikenal sebagai salah satu negara demokrasi mapan di Eropa dengan tradisi panjang perlindungan hak asasi manusia.
Namun, sejak tragedi 9/11 dan serangkaian serangan teror di London (2005), negara ini memperluas regulasi anti-terorisme melalui Terrorism Act 2000, Counter-Terrorism and Security Act 2015, hingga kebijakan Prevent Strategy.
Kasus terbaru pada Agustus 2025, ketika sejumlah aktivis dari kelompok Palestine Action ditangkap dengan landasan hukum anti-terorisme, memunculkan pertanyaan serius: apakah pemerintah masih menjaga keseimbangan antara keamanan publik dan kebebasan sipil, ataukah hukum telah menjadi instrumen represi politik?
Metodologi
Metodologi kajian ini bersifat kualitatif-deskriptif dengan tiga pendekatan:
1.Analisis Hukum: menelaah landasan regulasi anti-terorisme Inggris dan praktik implementasinya.