Di tengah gempuran teknologi dan rutinitas harian yang padat, terkadang manusia menemukan keindahan dalam hal-hal sederhana: secangkir kopi, semilir angin, dan sepotong puisi. Sebuah tulisan tangan di secarik kertas---yang mungkin tampak sepele di mata sebagian orang---ternyata menyimpan kontemplasi mendalam tentang kehidupan, sastra, dan kenikmatan kecil yang penuh makna. Puisi tanpa judul yang ditulis oleh seseorang bernama Senja, bertanggal 24 Mei 2025 dan bertanda tangan "Unpam Victor adalah salah satu contohnya.
Secangkir Kopi, Sebait Renungan
Puisi ini dibuka dengan baris:
Secangkir kopi Liong menghirupi aroma keharuman
Sebuah pembukaan yang hangat dan familiar. Kopi bukan sekadar minuman dalam puisi ini---ia menjadi pintu masuk menuju perenungan yang lebih dalam. Proses "menyeruput perlahan" menjadi metafora dari bagaimana penyair merenungkan kehidupan, sastra, bahkan eksistensi dirinya sendiri.
Dalam keheningan seruput demi seruput itu, muncul pemikiran: "Ah, apa aku bisa menjadi Joko Sapardi yang puisinya dinikmati dengan kehangatan?" Sebuah pertanyaan yang mungkin sering melintas di benak siapa pun yang bergelut dengan kata-kata. Sosok Sapardi Djoko Damono, dikenal dengan puisi-puisi lirikalnya yang menyentuh dan membumi, menjadi tolok ukur kehangatan sekaligus kedalaman dalam bersajak.
Filosofi di Balik Secangkir Kopi
Lalu, penyair melanjutkan:
Apa aku bisa menjadi Bung Rocky yang bisa menunggu-bungkam manusia sok pintar
Referensi terhadap Rocky Gerung, tokoh filsafat kontemporer Indonesia yang dikenal dengan pemikirannya yang tajam dan berani, memperlihatkan betapa dalamnya renungan sang penulis. Ini bukan lagi sekadar puisi personal, tetapi refleksi terhadap dunia intelektual dan kritik sosial. Ada sindiran halus terhadap "manusia sok pintar" yang mungkin mewakili fenomena antiintelektual atau sekadar pencitraan.