Lihat ke Halaman Asli

Cyberterorism, Radikalisasi pada Media Sosial di Indonesia

Diperbarui: 9 April 2021   00:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Media sosial merupakan media dengan jumlah pengguna terbanyak untuk saat ini. Keunggulan media sosial yang dapat memungkinkan penggunanya mengakses segala hal, menjadi salah satu faktor mengapa media sosial memiliki banyak peminat. Selain kebebasan dalam mengakses, pengguna juga bebas mengupload atau membagi konten ke publik baik berupa gambar, video maupun artikel cerita tertentu. Hal ini lah yang menjadi cikal bakal penyebaran radikalisme di media sosial.

Dalam penelitiaannya, Puspita (2020), menjelaskan bahwa Nurdin (2016)  mengatakan dalam penelitiaannya mengenai Strategi Propaganda dan Radikalisme di Internet mendeskripsikan kelompok radikal sebenarnya sudah menggunakan internet sejak 1999. 

Dalam penelitiannya juga, Nurdin menggambarkan propaganda yang dilakukan oleh kelompok radikal memaksimalkan media sosial sebagai medium komunikasi pemasaran. Dengan cara menggunggah gambar dan video setiap hari di internet. Kelompok jihad tersebut  juga membuat banyak akun di internet dan menggunakan tagar sebagai branding. Selain itu mereka juga memprmosikan jihad terbuka dan difusi ideologi online.(Puspita, 2020)

Dalam penelitiaanya, Puspita (2020) juga mencantumkan dua penelitian sebelumnya yang menjelaskan penggunaan internet, khususnya di media sosial, oleh kelompok radikal atau teroris yang dilakukan oleh Jennifer Yang Hui (2017) dan Muthohirin (2015). Hui, melakukan penelitian mengenai fenomena crowdsourcing terorisme dan strategi media sosial ISIS di Indonesia. 

Hui mengatakan bahwa untuk menarik target sasaran mereka, ISIS meggunakan situs web berbahasa Indonesia yang mengususung tema -- tema seperti antinegara, kiamat dan panggilan untuk hijrah, dan utopianisme dan kemartian (martydom). Muthohirin (2015) juga mengatakan dalam penelitiannya bahwa pergerakan radikalisme di media sosial tidak hanya dilakukan oleh kelompok terafiliasi organisasi teroris, melainkan dilakukan juga oleh organisasi fundamentalisme Islam. Kontennya pun mempropagandakan ideology kekerasan, ujaran kebencian, pendirian negara Islam, dan hujatan terhadap produk -- produk yang berasal dari Barat.

Radikalisasi
Istilah radikalisme berasal dari kata radix yang berarti akar atau sesuatu yang berasal dari asal (basic). Radikalisme berhubungan dengan keinginan yang harus diperjuangkan berdasarkan anggapan bahwa orang harus kembali ke asas dasar ajaran. Menurut Jamaluddin (2015), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi radikalisme, yaitu nasionalisme, agama, dan globalisasi. 

1) Nasionalisme, faktor ini muncul dalam penjajahan dan rakyatnya menilai sistem yang berlaku sangat kejam dan tidak adil sehingga tidak ada jalan lain, kecuali radikalisme yang bisa mengubah kehidupan mereka. 2) Faktor agama, yakni aksinya berdasarkan ketentuan dalam agama itu sendiri yang oleh masyarakat luas diinterpretasikan berbeda-beda. 3) faktor globalisasi, muncul karena ada kelompok yang belum siap menerima dampak kemajuan teknologi negara maju yang hasilnya menyalur ke pelosok dunia.

Paham radikal sering diartikan sebagai terorisme, padahal keduanya memiliki perbedaan. Seorang teroris sudah pasti menganut paham radikal, tetapi penganut radikal belum tentu seorang teroris, meskipun paham radikal ini menjadi tangga utama untuk seseorang yang akan terjerumus menjadi seorang teroris. 

Menurut Kelly Manthovani dalam tulisannya yang berjudul Radikalisme dan Terorisme dalam Pespektif Psikologi Sosial, mengatakan bahwa terorisme didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan yang diperhitungkan atau ancaman kekerasan untuk menghasilkan kekuatan. Terorisme ini merupakan hasil dari proses radikalisasi individu maupun kelompok yang memaksa untuk melakukan intimidasi terhadap pemerintah atau masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan yang umumnya merupakan tujuan politik, agama, maupun ideology. (Manthovani, 2016)

Menurut Prof. Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi BNPT, radikalisme di Indonesia terdapat tiga bagian, yaitu : Pertama, Radikalisme Keyakinan, para penganut paham ini berkeyakinan bahwa setiap orang yang 'berbeda' dengannya dalam segi apapun terutama keyakinan merupakan kafir. Kedua, Radikalisme Politik, kelompok ini memiliki keinginan untuk mengubah bentuk negara NKRI menjadi negara degan syariat islam berdasarkan ayat -- ayat al quran ynag memiliki tafsir holistik, tetapi mereka tidak memahami ilmu tafsir. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline