Pernahkah Anda berhenti sejenak untuk merenung? Di pagi hari, sarapan bisa dipesan melalui aplikasi dan tiba dalam hitungan menit. Perjalanan dari satu kota ke kota lain yang dulu memakan waktu berhari-hari, kini bisa ditempuh dalam beberapa jam saja dengan pesawat. Informasi dari seluruh penjuru dunia tersaji di ujung jari seketika. Kita hidup di puncak peradaban teknologi, sebuah era yang melahirkan "budaya instan".
Teknologi telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah berkah yang memangkas jarak dan waktu, memberi kita efisiensi yang tak terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Namun di sisi lain, ia diam-diam membentuk ekspektasi baru dalam benak kita: semua harus cepat, semua harus sekarang juga.
Hadiah Waktu Luang yang Hilang
Gambar 1 (Sumber: RRI)
Secara teori, efisiensi yang ditawarkan teknologi seharusnya memberikan kita hadiah paling berharga: waktu luang. Ketika pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dan perjalanan menjadi lebih singkat, semestinya kita memiliki lebih banyak waktu untuk hal-hal yang lebih esensial dan mendalam. Waktu untuk keluarga, untuk berinteraksi dengan tetangga, untuk menekuni hobi, atau untuk kegiatan spiritual seperti beribadah dengan lebih khusyuk. Bayangkan, waktu berjam-jam yang dulu habis untuk membaca referensi ketika mengerjakan suatu proyek tulisan kini bisa dialihkan untuk membaca kitab suci atau sekadar berdialog dengan Sang Pencipta. Ini adalah potensi ideal yang ditawarkan oleh kemajuan. Namun, realitas seringkali berkata lain. Alih-alih menikmati waktu luang tersebut, banyak dari kita justru terjebak dalam paradoks.
Lahirnya Sifat Tamak dan Fatamorgana Produktivitas
Gambar 2 (Sumber: UNAIR)
Waktu yang berhasil dihemat justru melahirkan sebuah kekosongan yang terasa "harus diisi". Di sinilah sifat tamak (atau yang dalam konteks modern sering disebut hustle culture) mulai merayap masuk. Seseorang merasa bisa mengerjakan dua atau tiga pekerjaan sekaligus karena teknologi memungkinkannya. Seorang freelancer mengambil lebih banyak proyek dari kemampuannya karena berpikir, "Toh, alat-alat ini membuat semuanya lebih cepat."
Motivasi untuk "mengerjakan lebih banyak" ini mengubah waktu luang dari sebuah oase menjadi ladang baru untuk dieksploitasi. Hasilnya bisa ditebak: tingkat stres yang meroket, kecemasan, dan pada puncaknya adalah burnout atau kelelahan mental dan fisik yang ekstrem. Kita menjadi begitu sibuk menjadi "produktif" hingga lupa tujuan awal dari produktivitas itu sendiri, yaitu mencapai kehidupan yang lebih baik dan seimbang.
Erosi Kesabaran: Ingin Sukses Secepat Mi Instan
Gambar 3 (Sumber: Gemini AI)
Dampak psikologis yang paling terasa dari budaya instan adalah menipisnya kesabaran. Ketika kita terbiasa mendapatkan makanan, tumpangan, dan informasi secara instan, kita secara tidak sadar mulai menerapkan ekspektasi yang sama pada semua aspek kehidupan.
Kita ingin cepat kaya, cepat naik jabatan, cepat mahir dalam suatu keahlian, dan cepat melihat hasil dari setiap usaha. Proses, yang merupakan bagian esensial dari pertumbuhan dan pembelajaran, mulai dianggap sebagai halangan yang menjengkelkan. Kita lupa bahwa pohon mangga yang kokoh tidak tumbuh dalam semalam, dan kebaikan serta hikmah seringkali datang setelah melalui rentetan proses yang panjang dan penuh kesabaran. Keinginan untuk "mendapat kebaikan secara singkat" ini membuat kita mudah menyerah saat menghadapi tantangan yang membutuhkan waktu.