Uga merupakan salah satu tradisi lisan yang berisi memori kolektif masyarakat Sunda (Rusnandar 2016). Uga biasanya diungkapkan dalam bentuk simbolisasi sehingga untuk memaknainya memerlukan interpretasi. Untuk itu kita memerlukan apa yang oleh R. Hidayat Suryalaga disebut sebagai Pancacuriga. Lima Kecurigaan Ilmiah ini adalah silib, sindir, simbul, siloka dan sasmita.
Dalam buku Kasundaan Rawayan Jati, R. Hidayat Suryalaga (2003) memberikan penjelasan terhadap kelima istilah tersebut. Silib adalah sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi dikiaskan; sindir sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi menggunakan susunan kalimat yang berbeda. Simbul, menyampaikan suatu maksud dengan bentuk lambang. Siloka menyampaikan suatu maksud dengan bentuk pengandaian. Adapun sasmita adalah pemaknaan yang berkaitan dengan perasaan hati (Muhtadin 2007).
Dari sekian banyak uga yang ada di Tasikmalaya salah satunya adalah uga Galunggung yang berbunyi: "Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung." Untuk memahami makna dari uga ini kita perlu memahami setidaknya tiga kata kunci yang terdapat di dalamnya, yaitu: Sunda, pulung dan Galunggung sesuai pisau analisis Pancacuriga.
Pertama, Su(n)da dapat diartikan sebagai keadaan murni (Nurwansah 2021). Sementara Koesoemadinata, merujuk pada pandangan Reinout van Bemmelen (1949) bahwa Sunda berasal dari Bahasa Sanskerta Cuddha yang berarti "putih". Sunda sendiri, dalam pandangan penganut Sunda Wiwitan atau Jati Sunda, bukan hanya sebatas nama (suku) bangsa melainkan sebagai agama atau wordview (pandangan hidup) seperti halnya Yahudi --- sebagai nama bangsa sekaligus agama.
Kedua, pulung. Mas Ngabehi Mangunwijaya di Wanagiri, Surakarta dalam Serat Widyakirana (1853) menyatakan bahwa: "Pulung, rupane biru sumirat ijo, iku pratandha adeging cahya manik-manik emas sarta tembaga, pulung mau ing tembe iya bakal dadi sarana mimbuhi daya panguripan, ananging kang diluluti bangsa tancebing cipta kang marang welas asih.... Pulung, pakolehe sinupeketan ing akeh, apadene linuhurake ing asmane, tur rineksa kasangsarane, ing sasama-samaning tumitah."
Arwan (2018) menyimpulkan pernyataan Mangunwijaya bahwa pulung adalah cahaya berwarna biru kehijauan yang jatuh dari langit yang terjadi dari manik-manik keemasan dan tembaga. Biasanya orang yang kejatuhan pulung hidupnya akan dipenuhi oleh belas kasihan kepada sesama. Pulung berkarakter cinta kasih. Sehingga jatuhnya pulung akan memilih orang yang menjalani upaya lahir dan batin mengamalkan cinta kasih kepada sesama, mewujudkan keindahan dan ketenteraman dunia. Amemayu Hayuning Bawana.
Sementara Luthfy (2016) lebih jauh menyatakan bahwa dalam perspektif agama, pulung ibarat wahyu yang dengannya seseorang menjalankan misi kenabian. Tak heran jika orang-orang Jawa dengan corak pandang konservatif melekatkan kemuliaan pada pulung. Bagaimanapun, ia identik dengan "stempel" atas kepemimpinan seseorang dalam suatu komunitas.
Dalam kata pulung terdapat makna "langitan" (samawi). Pulung tidak untuk didapatkan ataupun dicari. Ia seakan memilih siapa yang layak untuk mendapatkannya. Penentuan siapa yang akan mendapatkannya merupakan hak prerogatif "Langit". Ke arah ini kata-kata Luthfy (2016) bahwa "ia ibarat wahyu yang dengannya seseorang menjalankan misi kenabian" dimaksudkan. Di atas makna ini pula istilah mulung mantu berdiri sebagaimana peribahasa Sunda Jodo, pati, bagja, cilaka kagungan Nu Kawasa.
Ketiga, Galunggung. Sebutan Galunggung terawal dan secara tertulis sejauh ini ditemukan dalam prasasti Kertajaya yang bertahunkan 1122 aka/1200 M (Bastian dkk 2023). Kita juga kemudian mendapati penyebutan Galunggung dalam Bujangga Manik (c.1490) dan Amanat Galunggung (c.1518).
Bujangga Manik, seorang bangsawan Sunda sekaligus rahib pengelana, dalam catatan perjalanannya pada baris ke-1165 dari total 1641 baris (Sofian 2023) atau 1758 baris (Setiawan 2014) menulis: "Sadatang ka Saung Galah, sadiri aing ti inya, Saung Galah kaleu(m)pangan, kapungkur Gunung Galunggung, katukang na Panggarangan, ngalalar na Pada Beunghar, katukang na Pamipiran." (Sesampai di Saunggalah berangkatlah aku dari sana melewati Saunggalah, Gunung Galunggung di belakang saya, melewati Panggarangan, melalui Padabeunghar, Pamipiran ada di belakangku).