Lihat ke Halaman Asli

DLIYAUN NAJIHAH

Semacam mood menulisnya ditentukan oleh kebutuhan dapur saja

JNE, Doa Yang Dikemas Rapi dalam Paket Menuju Kalimantan

Diperbarui: 26 Juni 2025   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JNE, Doa Yang Dikemas Rapi Dalam Paket Menuju Kalimantan (Sumber : Dokumen Diolah Penulis)

“Ada yang mengatakan bahwa menikah adalah katalisator pintu takdir yang baru, meskipun terkadang datang sepaket dengan ujian yang membuat kami harus belajar bertahan dengan apapun yang kami punya, bukan dengan apa yang kami miliki.”

Aku Liya, perempuan Jawa kelahiran Sidoarjo, tumbuh bersama bau damen dan suara jangkrik yang menjadi teman masa kecilku. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan menjadi abdi negara di tanah yang dulu hanya kukenal lewat peta, Kalimantan.

Dulu aku hanya seorang karyawan swasta, terbiasa dengan ritme kota dan dunia industri yang cukup pesat di Jawa. Kini, menjalani babak baru sebagai pegawai negeri sipil, mengabdi di tanah Borneo yang megah oleh rimba dan sunyi. Palangka Raya bukan hanya tempatku tinggal, dia menjadi pelabuhan terakhir dalam hidupku. Disini, aku akan menua. Disini pula aku belajar lagi tentang hidup dari nol.

Menikah, Gerbang Perjuangan

2024, tahun pertama pernikahan kami yang tidak ditaburi dengan kemewahan. Tidak ada pesta besar, tidak ada bulan madu jauh-jauh, bahkan tak ada lemari yang penuh hadiah hanya secarik niat tulus dua hati yang sama-sama belajar kuat. Yang kami punya hanyalah niat untuk saling mendukung, dan keyakinan bahwa rizki akan datang pada waktu yang paling tepat.

Suamiku, orang tersabar yang tak pernah sekalipun mengeluh tentang keadaan hidup mengajarkan bahwa pernikahan adalah janji, dan janji itu diuji. Bukan saat kita di pelaminan, tapi saat tak ada lagi yang tersisa di dompet. Aku menikah dengan laki-laki Dayak dan memilih tinggal di Palangka Raya Kalimantan Tengah. Ia seorang honorer sekolah negeri di Palangka Raya, dengan gaji yang bahkan tak bisa menyewa mimpi di akhir bulan. Sebelum merajut mimpi menjadi seorang honorer, ia sosok yang aktif. Karena sebuah kecelakaan berat akhirnya mengharuskan dia beristirahat dan bahkan tidak bisa melakukan pekerjaan berat selain menjadi seorang tenaga honorer.

Dari keadaan ini kenyataannya dunia pernikahan berhasil menamparku berkali-kali lipat, PR besar datang seperti badai tanpa jeda. Bukan karena tidak pernah bersiap atau bahkan tidak pernah memikirkan sebelumnya. Justru ujian itu datang berangkap, menjelma menjadi dua dan tiga urutan rapi yang ingin segera diselesaikan satu persatu. Bulan demi bulan kami lewati dengan menakar uang seperti menakar beras, sehemat mungkin, sebijak mungkin, dan semampunya.

Tiada yang kami miliki kecuali doa dan sisa harapan di balik kening yang terus mengerut ditengah keringat dingin doa dan harapan kami setiap memasuki pertengahan bulan. Kami tetap memilih untuk percaya bahwa setiap pagi yang kami lewati dalam kekurangan adalah modal sah untuk mengetuk pintu Tuhan.

Datang Kabar Baik, Ditengah Tangan Tengadah Kami

Kami masih menggenggam sisa harapan dengan jemari yang mulai lelah ditengah badai yang tak pernah berkesudahan hingga menginjak tahun kedua pernikahan. Di tengah keheningan doa yang kami rapal perlahan tanpa suara, ditengah penantian dan usaha panjang yang kami usahakan datang kabar bahwa aku lulus CPNS setelah 5 bulan proses seleksi yang sangat melelahkan.

Penerimaan SK CPNS (Sumber : Dokumen Pribadi)

Tapi apakah kabar baik tetap kabar baik kalau kita tak punya ongkos untuk menyambutnya? Semakin terasa ketika SK CPNS ku terima, bukan sorak justru tanya “Dari mana biayaku beli seragam?”. Semestinya ini jadi titik balik dalam hidup kami memperbaiki ekonomi. Tapi entah mengapa, kabar bahagia itu datang bersama beban baru. Kami tertampar, lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline