tugas peradilan agama di indonesia
anggota kelompok
Lia febriani 232121134
Diyo prabowo 232121158
Akmal khoirul huda 232121169
1. Peradilan adalah proses penyelesaian perkara hukum melalui lembaga pengadilan. Dalam arti luas, peradilan mencakup seluruh sistem hukum yang melibatkan Hakim,Pengadilan,Jaksa,Pengacara,Proses hukum (penyidikan, persidangan, putusan). Tujuan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan, menyelesaikan sengketa, serta melindungi hak-hak warga negara.
Sedangkan Pengadilan Agama adalah salah satu jenis lembaga peradilan di Indonesia yang khusus menangani perkara-perkara tertentu bagi umat Islam, seperti:
Kewenangan Pengadilan Agama (menurut UU No. 3 Tahun 2006):
Perkawinan (cerai, rujuk, dispensasi nikah, dll.),Warisan,Wasiat,Hibah,Wakaf,Zakat,Infaq,Shadaqah,Ekonomi syariah
Contoh Kasus di Pengadilan Agama yaitu Perceraian,Sengketa warisan menurut hukum Islam,Sengketa harta bersama setelah perceraian,Gugatan nafkah anak atau istri.
2. Peradilan Agama adalah lembaga hukum yang menangani perkara-perkara yang berkaitan langsung dengan kehidupan umat Islam, terutama dalam hal yang diatur oleh hukum Islam. Fokus utama lembaga ini adalah menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam ruang lingkup kehidupan keluarga, harta benda, dan urusan ibadah sosial menurut ajaran Islam. Salah satu kewenangan yang paling dikenal dari Peradilan Agama adalah menangani urusan perkawinan, seperti perkara perceraian, baik itu cerai talak maupun cerai gugat. Tidak hanya itu, pengadilan ini juga mengurus soal hak asuh anak, nafkah, pembagian harta bersama, hingga permohonan isbat nikah bagi pasangan yang belum mencatatkan pernikahannya secara resmi. Selain soal rumah tangga, Peradilan Agama juga memiliki wewenang dalam menyelesaikan sengketa warisan. Ketika seorang Muslim meninggal dunia dan terjadi perselisihan di antara ahli waris mengenai pembagian harta, maka Peradilan Agama akan menangani kasus tersebut berdasarkan hukum waris Islam. Tak kalah penting, lembaga ini juga berwenang menyelesaikan perkara wasiat dan hibah, terutama jika timbul konflik di antara pihak-pihak yang terlibat. Begitu pula dengan urusan wakaf---baik mengenai keabsahannya, pengelolaannya, maupun pergantian nadzir (pengelola wakaf)---semuanya masuk ke dalam ranah Peradilan Agama. Di bidang sosial keagamaan, Peradilan Agama juga memiliki peran dalam menangani persoalan yang menyangkut zakat, infaq, dan shadaqah, meskipun kasus-kasus seperti ini relatif jarang muncul di persidangan. Dalam beberapa tahun terakhir, kewenangan Peradilan Agama juga diperluas hingga ke bidang ekonomi syariah. Ini mencakup sengketa yang timbul dari transaksi ekonomi yang menggunakan prinsip-prinsip Islam, seperti akad murabahah (jual beli), ijarah (sewa), mudharabah (bagi hasil), dan lain-lain.
3.Peradilan Agama memiliki kewenangan khusus untuk menangani perkara-perkara perdata tertentu bagi masyarakat yang beragama Islam. Proses penyelesaiannya mengikuti alur yang telah ditetapkan dalam hukum acara.
kewenangan Peradilan Agama
Kewenangan absolut Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Kewenangan ini meliputi:
Perkawinan: Segala sengketa yang berkaitan dengan perkawinan, seperti izin poligami, dispensasi kawin, pembatalan perkawinan, gugatan cerai (cerai talak dan cerai gugat), penyelesaian harta bersama (gono-gini), serta penetapan hak asuh anak dan nafkah.
Waris: Penyelesaian sengketa mengenai penentuan ahli waris, harta peninggalan, dan pembagian warisan berdasarkan hukum Islam.
Wasiat: Sengketa terkait keabsahan dan pelaksanaan surat wasiat yang dibuat oleh pewaris.
Hibah: Perkara yang menyangkut pemberian harta dari seseorang kepada orang lain saat pemberi masih hidup.
Wakaf: Sengketa mengenai pendaftaran, pengelolaan, dan pengawasan harta benda wakaf.
Zakat, Infak, dan Sedekah: Penyelesaian sengketa dalam pengelolaan dan distribusi dana zakat, infak, dan sedekah.
Ekonomi Syariah: Ini adalah kewenangan yang lebih baru dan luas, mencakup sengketa dalam bidang perbankan syariah, asuransi syariah, reksa dana syariah,pembiayaan syariah, dan akad-akad ekonomi lain yang berdasarkan prinsip syariah.
Proses Penanganan Perkara
Proses penanganan perkara di Pengadilan Agama berjalan melalui beberapa tahapan utama:
1. Pendaftaran Perkara : Pihak yang ingin mengajukan perkara (Penggugat/Pemohon) mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan Pengadilan Agama dan membayar panjar biaya perkara.
2. Panggilan Sidang: Pengadilan akan menetapkan jadwal sidang dan juru sita akan memanggil para pihak (Penggugat dan Tergugat) secara resmi dan patut.
3. Upaya Perdamaian (Mediasi): Pada sidang pertama, hakim wajib mengupayakan perdamaian. Jika tidak tercapai, para pihak akan diarahkan untuk menempuh proses mediasi dengan seorang mediator bersertifikat. mediation is a mandatory step.
4. Pembacaan Gugatan dan Jawaban: Jika mediasi gagal, sidang dilanjutkan dengan pembacaan gugatan oleh Penggugat. Tergugat kemudian diberi hak untuk memberikan jawaban (Jawab-Jinawab), yang bisa berlanjut dengan Replik (tanggapan Penggugat) dan Duplik (tanggapan Tergugat).
5. Pembuktian: Tahap ini adalah saat para pihak mengajukan bukti-bukti untuk mendukung dalil mereka. Bukti dapat berupa surat (alat bukti tertulis) dan saksi.
6. Kesimpulan: Setelah tahap pembuktian selesai, para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan atau tertulis.
7. Musyawarah Hakim dan Putusan: Majelis hakim akan bermusyawarah untuk mengambil keputusan berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan. Hasilnya adalah putusan yang akan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
4.Pengembangan Peradilan Agama dari Masa Pra-Kemerdekaan hingga Reformasi
Sejarah Peradilan Agama di Indonesia menunjukkan evolusi yang signifikan dari lembaga yang sederhana menjadi pilar kekuasaan kehakiman yang modern.
Masa Sebelum Kemerdekaan (Era Kolonial)
Kelembagaan peradilan agama sudah ada sejak zaman kerajaan Islam. Pada masa penjajahan Belanda, eksistensinya diakui secara formal melalui Staatsblad 1882 Nomor 152. Lembaga ini disebut Priesterraad atau Pengadilan Agama, namun kewenangannya sangat terbatas, hanya mencakup urusan nikah, talak, rujuk, dan mahar. Kedudukannya pun berada di bawah pengawasan Landraad (Pengadilan Negeri).
Masa Awal Kemerdekaan hingga Orde Baru
Setelah kemerdekaan, posisi Peradilan Agama mulai diperkuat. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 menetapkan bahwa Pengadilan Agama berada di bawah naungan Kementerian Agama. Puncaknya adalah lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini secara komprehensif mengatur kedudukan, susunan, kekuasaan, dan hukum acara Peradilan Agama, menjadikannya lembaga peradilan yang mandiri dan setara dengan peradilan lainnya, meskipun secara organisatoris masih di bawah dua atap (teknis yudisial oleh Mahkamah Agung, administrasi oleh Kementerian Agama).
Masa Reformasi
Era reformasi membawa perubahan fundamental. Tuntutan akan independensi yudikatif mendorong lahirnya kebijakan "sistem satu atap" (one-roof system). Melalui Amandemen UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4 Tahun 2004), seluruh pembinaan Peradilan Agama (organisasi, administrasi, dan finansial) dialihkan sepenuhnya ke Mahkamah Agung. Peralihan ini menghilangkan dualisme dan meneguhkan kemandirian Peradilan Agama. Selain itu, kewenangannya diperluas secara signifikan melalui UU No. 3 Tahun 2006 yang menambahkan sengketa ekonomi syariah, menjadikan Peradilan Agama lebih relevan dengan perkembangan zaman