Di layar ponselku, sebuah iklan berkelebat: Kompas, genap 60 tahun. Angka itu bukan sekadar deret waktu bagi sebuah media, melainkan denyut kenangan bagi kami yang tumbuh bersama halamannya.
Kenangan pun melintas, seperti salindia yang berputar pelan ....
Di atas meja makan rumah kami, Kompas selalu hadir tiap pagi. Aku tak selalu ingat siapa yang membawanya masuk, tetapi dalam kenanganku, langkah kaki Bapak pulang dari masjid seolah bersamaan dengan kehadiran surat kabar itu.
Kompas tidak hanya menjadi koran yang menyajikan berita, tetapi juga aroma pagi yang akrab. Ia menyatu dengan denting sendok dan piring, alunan radio, wangi kopi Bapak, juga suara khas dari gerakan koran yang sedang dibaca. Di situlah, aku mengenal dunia, lewat baris-baris berita, kolom opini, dan kotak-kotak kecil Teka-Teki Silang yang sering kami isi bersama.
Kompas sendiri pertama kali terbit pada 28 Juni 1965— lahir di tengah gejolak zaman, tumbuh dalam semangat mencerdaskan bangsa. Nama "Kompas" diberikan langsung oleh Presiden Soekarno. Beliau menolak pemberian nama Bentara Rakyat, dan berkata, "Aku akan memberi nama yang lebih bagus ... Kompas. Tahu, toh, apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan rimba!" (Kompas, Redesain 2018).
Dari halaman-halaman koran itulah aku mulai mengenal realitas dunia di luar pagar rumah kami.
Salah satu kenangan terkuatku adalah tentang tugas kliping. Ya, kliping— aktivitas menggunting artikel dari koran, lalu menempelkannya di kertas folio. Untuk kami, anak-anak sekolah saat itu, Kompas adalah tambang informasi. Tidak hanya karena lengkap dan terpercaya, tetapi karena hadir setiap hari di rumah.
Saat teman-teman masih bingung mencari artikel, aku sudah menggunting sambil menyeruput teh hangat buatan Ibu. Kadang Bapak ikut membantu, memilih berita yang "lebih berbobot", katanya— meski aku waktu itu belum benar-benar tahu maksudnya.
Dahulu belum ada internet sebagai rak informasi yang bisa dijangkau kapan saja. Jadi, kliping menjadi cara paling konkret untuk menyimpan informasi penting. Kadang topiknya sejarah, kadang sains, kadang peristiwa aktual. Kliping bukan hanya alat dokumentasi, melainkan satu bentuk pelestarian. Hanya dengan cara ini, berita bisa dibaca berulang.
Proses membuat kliping pun mengandung unsur kreativitas. Kami tidak asal menempel, tetapi menyusun tata letak, memberi judul yang menarik, sumber, dan tanggal terbitnya, bahkan menambahkan gambar dari halaman lain agar tampilannya lebih indah dan enak dibaca— seolah arsitek cilik yang lincah bermain dengan imajinasinya. Kliping menjadi aktivitas belajar yang menyenangkan---dan Kompas menyediakan semua bahan dasarnya setiap pagi, tanpa henti.
Yang paling kutunggu adalah edisi Minggu. Di dalamnya ada cerpen yang terasa seperti oase. Tulisan yang tidak sekadar mencerahkan, tetapi juga menyentuh jiwa. Kini, ketika mengingatnya, aku tersenyum. Mungkin itulah benih cinta pertamaku pada dunia kata, yang tumbuh diam-diam di antara halaman sastra Kompas Minggu.