Ketetapan MPRS No. XXVII/1966 dan Feodalisme Religius: Kritik Tajam atas Praktik Otoritarianisme Keagamaan yang Terselubung
Ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Ketetapan No. XXVII/MPRS/1966 tentang agama, pendidikan, dan kebudayaan, naskah itu tidak sekadar mengatur kurikulum atau kabinet birokrasi---ia mewariskan bingkai hukum dan kebijakan yang memengaruhi relasi kekuasaan antara negara, kelembagaan agama, dan rakyat. Untuk membaca fenomena feodalisme religius di Indonesia hari ini --- yaitu pola relasi kuasa hierarkis, paternalistik, dan kadang eksploitatif antara penguasa agama dan basis pengikut/komunitas --- kita wajib menengok kembali substansi dan efek Tap MPRS 1966 serta realitas kebebasan beragama dan praktik keagamaan sekarang.
Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 (selanjutnya: Tap MPRS 1966) tentang agama, pendidikan, dan kebudayaan adalah titik balik kebijakan negara pasca-1965 yang menempatkan pendidikan agama sebagai urusan publik yang terstruktur secara nasional. Salah satu bunyi yang paling menentukan adalah: "Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai dengan Universitas-Universitas Negeri."
Artikel ini mengajukan klaim kuat: feodalisme religius bukan hanya warisan budaya atau adat pesantren semata; ia juga diproduksi, distabilkan, dan kadang dirasionalisasi oleh konstruksi hukum-politik pasca-1966. Di bawah klaim itu saya sajikan bukti hukum, data tentang kebebasan beragama, observasi empiris dari dinamika pesantren dan komunitas keagamaan, serta analisa kritis mengapa Tap MPRS No. XXVII/1966 berperan, langsung maupun tidak, dalam membentuk kondisi tersebut.
1. Apa yang diatur Tap MPRS No. XXVII/1966 --- bukan hanya ritual, tapi struktur
Secara ringkas, Tap MPRS No. XXVII/1966 menempatkan agama, pendidikan, dan kebudayaan dalam ranah yang diatur ketat negara---dengan implikasi terhadap siapa yang berhak mendefinisikan "ajaran yang sah", bagaimana pendidikan agama diprogramkan, serta batasan-batasan ideologi yang diperbolehkan pasca-1965. Ketetapan ini menjadi salah satu titik balik kebijakan publik terhadap agama dan pendidikan pada masa transisi politik yang sangat geser. Dokumen teks resmi dan ringkasan akademis memperlihatkan bahwa Tap ini merombak sejumlah ketentuan sebelumnya terkait mata pelajaran agama dan kedaulatan negara atas wacana kebudayaan.
Dari sudut kritis, ketika negara menata agama melalui ketetapan yang berorientasi stabilisasi politik, selalu ada peluang bagi aktor lokal berkuasa---ulama terpilih, pimpinan "institusi pendidikan keagamaan", kelompok agama mayor---untuk menegaskan hierarki internal mereka. Hierarki yang berulang-ulang mendapat legitimasi melalui kanal negara akan cenderung berubah menjadi struktur "feodal" di tingkat lokal: penguasa agama sebagai patron, umat/ santri sebagai klien yang bergantung.
2. Bukti empiris: Kebebasan beragama yang tergerus dan dinamika lokal
Data dan laporan internasional yang relatif mutakhir menunjukkan masalah struktural dalam kebebasan beragama di Indonesia: hambatan perizinan rumah ibadah, regulasi yang diskriminatif, serta tekanan sosial terhadap minoritas agama tercatat dalam laporan lembaga internasional selama 2024--2025. Laporan-laporan ini menunjukkan pola sistemik---bukan insiden terisolasi---yang menandakan adanya ketidakseimbangan kekuasaan institusional dalam soal agama.
Di tingkat lokal, wacana modern tentang "feodalisme pesantren" muncul berulang kali: tuduhan adanya eksploitasi, penyerapan sumber daya, dan ketaatan tidak proporsional pada beberapa pemimpin pesantren. Tetapi penting dicatat: debat publik ini tidak monolitik. Sebagian penulis dan pengamat menolak pelabelan "feodal" sebagai simplifikasi yang mengabaikan fungsi sosial pesantren---sebagai penyedia pendidikan, perlindungan sosial, dan solidaritas komunitas---serta tradisi adab yang kompleks. Perdebatan ini memperlihatkan bahwa fenomena yang kita sebut "feodalisme religius" adalah hasil interaksi antara praktik lokal, ekonomi kepesantrenan, dan kerangka hukum-politik yang lebih luas.