Lihat ke Halaman Asli

Menganalisis Sejauh Mana Trend TikTok; Trend Velocity Dapat Mempengaruhi Remaja Dalam Fenomena FOMO di Era Sekarang

Diperbarui: 14 Juni 2025   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era digital yang serba cepat ini, aplikasi TikTok telah diunduh lebih dari 500 juta kali di Play Store. Menurut data dari Kompas.com, Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak di dunia, dengan total mencapai sekitar 157,6 juta pengguna per Juli 2024. Tidak bisa diPungkiri, TikTok menjadi salah satu platform paling berpengaruh dalam membentuk trend di kalangan remaja saat ini, salah satunya adalah trend velocity atau kecepatan penyebaran informasi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Setiap detik, konten baru muncul di media sosial, trend berganti begitu cepat, dan berita viral datang silih berganti. Di tengah kecepatan luar biasa ini, muncul fenomena lain yang semakin sering terdengar yaitu FOMO atau Fear of Missing Out, yaitu rasa takut tertinggal dari hal-hal yang sedang trend atau dilakukan oleh orang lain. Menariknya, kelompok yang paling rentan terhadap dua fenomena ini adalah remaja. Maka, perlu diperhatikan di jaman sekarang sejauh mana trend velocity berperan dalam membentuk, memperkuat, atau bahkan memperburuk fenomena fomo dikalangan remaja masa kini.

Kita juga perlu memahami terlebih dahulu bagaimana trend velocity bekerja di jaman sekarang, Velocity merujuk pada kecepatan perputaran dan penyebaran informasi dalam ekosistem digital. Dalam media sosial, velocity terjadi ketika sebuah trend, konten, atau isu menyebar secara masif dan instan, menciptakan tekanan sosial yang tinggi. Pada jaman sekarang bisa kita lihat sendiri bahwa lebih dari 95% remaja menggunakan media sosial setiap hari, dan sebagian besar dari mereka mengakses lebih dari satu platform, berupa TikTok, Instagram, dan aplikasi lainnya, dimana platform yang paling cepat menyebarkan trend baik berupa gaya hidup, challenge, mode pakaian, bahkan opini politik.

Fenomena ini memicu FOMO karena remaja terus-menerus melihat apa yang orang lain lakukan, konsumsi, atau ikuti. Sebuah studi dari jurnal yang berjudul "Fenomena Fear Of Missing (FOMO) pada Generasi Z dalam Mengikuti Trend TikTok", didalam jurnal ini seorang ahli psikologi, Ibu Agustina, M. Psi., Psikolog menjelaskan bahwa anak muda zaman sekarang, khususnya Generasi Z lebih banyak menghabiskan waktu menggunakan gadget dibanding generasi sebelumnya. Karena akses informasi lewat smartphone begitu gampang, mereka jadi sangat tergantung sama media sosial. Akibatnya, banyak dari mereka merasa tidak bisa lepas dari HP dan harus selalu online supaya tidak ketinggalan informasi atau trend terbaru. Selain itu, karena semua informasi begitu mudah didapat, mereka jadi cenderung menerima apa pun yang dilihat di media sosial tanpa ngecek kebenarannya dulu. Akibatnya manusia punya kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain, apalagi saat remaja yang masih dalam proses mencari jati diri. Kehadiran media sosial membuat proses perbandingan ini jadi lebih cepat dan luas karena kita bisa dengan mudah melihat kehidupan dan pencapaian orang lain tanpa batas.

FOMO tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi berakar dari kebutuhan dasar manusia akan keterhubungan dan validasi sosial, dua hal yang sangat menonjol dalam masa remaja. disinilah velocity memainkan peran yang sangat besar karena trend bergerak begitu cepat, remaja merasa harus terus mengikuti perubahan agar tidak dikesampingkan dari kelompok sosialnya. Tekanan ini kemudian menimbulkan kecemasan, stres, bahkan perilaku kompulsif dalam menggunakan media sosial. Ironisnya, semakin mereka berusaha "terhubung", semakin tinggi risiko mereka merasa tertinggal karena dunia digital tidak pernah berhenti. Dampak psikologisnya tidak bisa dianggap remeh. Menurut penelitian dari Nazla Hana Firdaus (2024), fenomena FOMO akibat penggunaan media sosial berdampak signifikan terhadap penurunan kepercayaan diri remaja. Kecenderungan membandingkan diri, mencari validasi eksternal, serta fokus pada pencitraan diri di dunia maya membuat remaja rentan terhadap kecemasan, rasa iri, dan ketidakpuasan diri. Untuk itu, diperlukan pemahaman dan pendampingan yang bijak dari berbagai pihak agar remaja dapat membangun kepercayaan diri berdasarkan nilai diri yang autentik, bukan sekadar pengakuan dari media sosial.

Namun demikian, kita juga perlu melihat dari sisi lain. Tidak semua efek velocity bersifat negatif. Dalam konteks tertentu, trend velocity juga bisa mendorong kreativitas dan pembelajaran cepat di kalangan remaja. Banyak remaja yang memanfaatkan trend digital untuk mengekspresikan diri, belajar hal baru, atau bahkan membangun bisnis kecil-kecilan. Artinya, pengaruh velocity terhadap FOMO sangat bergantung pada bagaimana remaja dan lingkungan sosialnya merespons kecepatan tersebut. Solusinya bukan dengan menolak teknologi atau melarang media sosial. Justru pendekatannya harus berfokus pada literasi digital dan penguatan kesehatan mental. Orang tua, guru, dan pembuat kebijakan perlu bekerja sama memberikan pemahaman kepada remaja tentang bagaimana menyaring informasi, membangun batasan digital, dan mengelola ekspektasi sosial. Media sosial bisa menjadi ruang yang sehat jika digunakan secara sadar dan kritis.

Trend velocity menuntut mahasiswa Generasi Z untuk senantiasa menyesuaikan diri, baik dalam proses belajar maupun dalam kehidupan sosial mereka (Assyahaf et al., 2025). Dalam menghadapi dinamika tersebut, mahasiswa Gen Z perlu mengembangkan berbagai strategi adaptif agar tetap mampu mengikuti perkembangan dan bersaing secara optimal di tengah lingkungan yang terus mengalami perubahan. Penelitian ini mengidentifikasi beberapa bentuk strategi adaptasi yang telah diterapkan oleh mereka, diantaranya 1) Peningkatan literasi digital dan teknologi. 2) Selektivitas dalam mengikuti trend. 3) Partisipasi dalam kegiatan sosial. 4) Managemen waktu.

Remaja juga perlu didorong untuk membangun identitas diri yang kuat di luar media sosial. Ketika mereka memiliki kepercayaan diri dan tujuan hidup yang jelas, trend apa pun tidak akan mudah mengguncang mereka. Dalam psikologi positif, praktik seperti gratitude journaling, digital detox, dan mindfulness terbukti efektif dalam mengurangi dampak FOMO. Ini bukan hanya soal "mengikuti zaman", tetapi soal tetap waras di tengah kecepatan zaman. Akhirnya, opini ini ingin menekankan bahwa trend velocity memang punya pengaruh besar dalam memperkuat fenomena FOMO di kalangan remaja. Namun, pengaruh ini tidak bersifat mutlak. Dengan pemahaman, bimbingan, dan intervensi yang tepat, kecepatan informasi tidak harus menjadi ancaman dan sebuah sumber kecemasan. Sebaliknya, seseorang bisa menjadi alat yang mendukung perkembangan remaja yang lebih sehat, kritis, dan tangguh dalam menghadapi arus digital yang terus mengalir.

Kita hidup di era informasi yang luar biasa cepat, tetapi bukan berarti kita harus terus terburu-buru. Justru di tengah derasnya arus digital, kita perlu menguatkan akar diri agar tidak mudah goyah. Menjadi remaja di era sekarang memang penuh tantangan, namun juga penuh potensi. Dengan pemahaman akan pengaruh velocity dan dampaknya terhadap FOMO, kita bisa bersama-sama menciptakan lingkungan yang tidak hanya terhubung secara digital, tetapi juga sehat secara emosional dan sosial. Karena pada akhirnya, yang paling penting bukan seberapa cepat kita mengikuti trend, tetapi seberapa sadar kita menjalani hidup di tengah tren tersebut.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline