Lihat ke Halaman Asli

Ayu Diahastuti

TERVERIFIKASI

an ordinary people

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 4: "First Journey"]

Diperbarui: 12 Oktober 2019   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: smartvoyageur.com

Bukit dan lembah yang indah terbentang luas di hadapanku. Angin membelai lembut rambut ikal yang kubiarkan tergerai. Harum bau pedesaan ini membuang penatku sejenak. 

Hangat sinar matahari pagi membelai wajahku, seiring angin bukit kembali ikut menikmati setiap lekuk wajahku. Kubiarkan saja alam menyentuh bagian tubuhku. Kubiarkan harum lembut dari dedaunan yang membentang di bawah balkon kastil membiusku.

Seperti kupu-kupu yang beraneka warna kini terbang mengitari bunga-bunga di halaman depan dimana air mancur itu terdengar mengalir gemericik dan bening, mataku terbang mengelilingi hamparan rumah-rumah abad pertengahan di sekitar kastil.

Alam ini tak pernah menipu. Berjalan apa adanya. Air mengalir, udara yang tercipta tak terlihat namun nyata, angin yang berhembus, aku menikmati semuanya. Semua yang sederhana ini. Tak ada kemunafikan, tak ada kebohongan yang disembunyikan, tak ada kemarahan, tak ada kepalsuan, semua apa adanya. Penuh ketulusan.

"Maaf, Tuan Puteri, " suara Tuan Dunberg mengejutkanku, membangunkan aku dari lamunan.

Aku berdiri dan menundukkan badanku memberinya hormat. "Tuan Dunberg," salamku.

"Kau mengaguminyakah, Tuan Puteri? Lihat bukit itu. Hijau. Ada dua bukit yang mengapit gunung tinggi itu. Lihat, Tuanku, pohon -pohon yang tinggi nan elok. Mereka penjaga kita. Pinus-pinus perkasa yang selalu membentang siap memberikan apa yang kita butuhkan.

"Air, udara, keteduhan, semua disediakan untuk kita. Inilah kehidupan. Mereka membutuhkan kita untuk mengelola mereka, merawat mereka, bukan meniadakan dan menghabisinya. Saling bergantung, bukan.

"Kerajaan Fillya pun membutuhkan, Anda, Tuan Puteri. Kerajaan kita, banyak dikenal orang sebagai kerajaan pedalaman. Indah, kaya, dan penuh keramahan. Fillya memang berada di sebuah lereng gunung. Hanya keturunan peri saja yang mampu melihatnya.

"Kau akan takjub melihat semua, Tuanku. Mari, akan hamba perlihatkan segala hal yang harus Tuan Puteri ketahui. Waktu kita tak banyak, Tuanku. Jadi hamba berharap mampu memberikan pengetahuan yang cukup untuk Tuanku, sebelum Tuanku bertemu Sang Guru Besar Langboard."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline