Sepak bola Eropa baru saja menyaksikan momen bersejarah yang tidak hanya gemilang di atas lapangan, namun juga menyentuh nurani. Paris Saint-Germain meraih treble winners untuk pertama kalinya dalam sejarah klub setelah mengalahkan Inter Milan 5-0 di final Liga Champions 2024/2025. Namun, di balik kemenangan gemilang itu, tersimpan kisah pilu seorang ayah yang merubah nestapa menjadi kekuatan luar biasa.
Lima tahun silam, dunia sepak bola turut merasakan kepedihan mendalam yang dialami Luis Enrique. Putri kesayangannya, Xana, meninggal dunia pada 29 Agustus 2019 di usia yang masih sangat belia, 9 tahun, setelah berjuang melawan osteosarcoma (kanker tulang) selama lima bulan.
Perjuangan kecil Xana begitu heroik. Selama lima bulan terakhir dalam hidupnya, gadis cilik itu harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Begitu beratnya perjuangan putrinya, Luis Enrique bahkan rela melepaskan jabatan pelatih Timnas Spanyol pada Juni 2019 untuk mendampingi Xana dalam perjuangan terakhirnya.
Keputusan mengundurkan diri dari timnas yang sedang mempersiapkan Euro 2020 bukanlah hal mudah bagi seorang pelatih sekaliber Enrique. Namun, bagi seorang ayah, tidak ada yang lebih penting daripada berada di samping anaknya saat menghadapi pertarungan hidup dan mati.
Kemenangan PSG bukan sekadar pencapaian klub, melainkan juga menjadikan Luis Enrique sebagai pelatih kedua dalam sejarah sepak bola yang berhasil meraih treble bersama dua klub berbeda. Prestasi langka ini menempatkannya sejajar dengan legenda Pep Guardiola, yang sebelumnya meraih treble bersama Barcelona (2009) dan Manchester City (2023).
(sumber: pinterest/luis enrique)
Ketika Luis Enrique memutuskan pindah ke Paris pada musim 2023/2024, banyak yang tidak menyadari bahwa keputusan itu bukan hanya soal karier. Paris menjadi tempat dimana seorang ayah yang kehilangan putri tercinta mencoba membangun kembali hidupnya. Skeptisisme menyelimuti penunjukannya, ditambah kepergian bintang-bintang seperti Neymar dan kemudian Kylian Mbappe yang hengkang ke Real Madrid pada Juli 2024.
Namun, Enrique justru melihat situasi ini sebagai kesempatan emas. Sama seperti ia yang bangkit dari nestapa kehilangan Xana, PSG juga harus bangkit dari ketergantungan pada individualitas menuju kekuatan kolektif. Di musim keduanya, strategi ini mulai membuahkan hasil gemilang dengan PSG yang tidak terkalahkan dalam 28 pertandingan pertama.
Kesuksesan Luis Enrique tidak datang secara kebetulan. Dengan filosofi permainan menyerang yang tajam, Enrique berhasil mengoptimalkan potensi skuad PSG tanpa bergantung pada individualitas pemain bintang. Pendekatan kolektif ini terbukti lebih efektif daripada mengandalkan beberapa nama besar.
Bahkan, sekelas Real Madrid saja belum bisa meraih treble winner, meski jadi klub paling banyak meraih trophy Liga Champions sebanyak 15 kali. Fakta ini menunjukkan betapa sulitnya meraih treble, dan menjadikan pencapaian Luis Enrique semakin istimewa.