Sudah menjadi rutinitas tahunan. Sorotan lampu kembali memenuhi Steve Jobs Theater di Cupertino. Tim Cook melangkah ke panggung, dan sekali lagi, dunia menahan napas untuk melihat apa yang baru. Tahun ini tidak berbeda: iPhone lebih tipis, AirPods dengan kemampuan terjemahan langsung, dan Apple Watch yang lebih kokoh. Tim Cook, sang CEO, menyebut jajaran iPhone 17 sebagai lompatan terbesar dalam sejarah iPhone, sekaligus perubahan desain terbesar.
Namun, peluncuran ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah Apple masih mampu menciptakan keajaiban? Atau kini hanya sekadar pabrik daur ulang ide-ide lama yang sangat mahal?
Pada Rabu (10/9/2025) dini hari WIB Apple memperkenalkan iPhone 17 dalam berbagai variasi. Model Pro kini hadir dengan "camera plateau," yaitu deretan lensa horizontal yang akhirnya membuat ponsel bisa diletakkan rata di meja. Bobotnya lebih ringan, layar lebih terang, dan baterai sedikit lebih awet.
Kemudian ada iPhone Air, produk yang paling banyak dibicarakan. Ini adalah iPhone tertipis yang pernah dibuat --- lebih tipis dari tumpukan tujuh kartu kredit. Bisa dibilang ini iPhone versi diet. Tapi keindahan datang dengan kompromi: hanya satu kamera, baterai lebih lemah, dan tanpa lensa ultra-wide. Apple tampaknya yakin orang akan rela mengorbankan fungsi demi desain elegan.
Harga? iPhone 17 versi dasar dimulai dari \$799 (sekitar Rp82 juta). Varian Pro Max dibanderol \$1.199 (Rp1,49 juta). Sedangkan iPhone Air seharga \$999 (Rp1,19 juta).
Tapi begini: sejak 2019, Apple tetap bertahan dengan desain persegi panjang membulat yang sama. Bandingkan iPhone 17 dengan iPhone 11, dan Anda akan menemukan lebih banyak kesamaan daripada perbedaan. Jauh berbeda dari era Steve Jobs, ketika ia ingin iPhone pertama terasa seperti datang dari "masa depan yang belum tiba." Kini, masa depan itu terasa lebih seperti deja vu.
Dan ada satu gajah yang absen di ruangan: kecerdasan buatan. Google terus-menerus bicara tentang Gemini. Microsoft gencar mendorong Copilot. Meta membentuk tim super-intelligence baru. Apple? Hampir tak menyinggung AI. Merek menyebutnya hanya empat kali, bahkan bisa terlewat jika berkedip. Mengapa? Karena terakhir kali Apple membesar-besarkan AI, melalui upgrade Siri tahun lalu, hasilnya buruk: glitch dan tidak akurat. Jelas, Apple tidak mau dua kali berjanji palsu. Alih-alih, mereka memilih mundur selangkah sementara para pesaing membakar miliaran dolar.
Hal ini memunculkan pertanyaan lebih besar: apakah Apple kehilangan percikan magisnya? Pada masa Jobs, setiap peluncuran terasa seperti trik sulap --- iPod, iPhone pertama. Kini, sensasi itu berubah dari "menakjubkan" menjadi sekadar "cukup menarik." Mungkin itu tak terhindarkan. Roda hanya bisa diciptakan ulang beberapa kali.
Namun, jutaan orang tetap akan mengantre. Pre-order tetap akan membuat server tumbang. Grup WhatsApp tetap akan memperdebatkan warna terbaik. Karena rahasianya adalah ini: Apple sebenarnya bukan menjual perangkat, melainkan menjual perasaan menjadi bagian dari cerita Apple. iPhone berbicara dengan Apple Watch, tersinkron dengan MacBook, membuka iPad, dan memanggil AirPods. Bukan sekadar ekosistem, tapi lebih mirip penjara beludru. Bisa keluar, tentu saja. Tapi apakah Anda rela mengunduh ulang semua aplikasi dan menyetel ulang semua kata sandi?
Itulah intinya. Apple mempertahankan loyalitas bukan karena setiap perangkat baru revolusioner, tetapi karena mereknya masih membawa bisikan keajaiban. iPhone 17 bukanlah revolusi yang Anda harapkan. Di era ketika semua orang berteriak tentang AI, Apple masih berbicara soal desain dan pengalaman. Mungkin itu bentuk kehati-hatian. Mungkin juga strategi.
Apa pun alasannya, Jumat nanti jutaan orang tetap akan memesan iPhone baru. Karena jauh di dalam hati, kita masih menunggu momen "terpukau" itu. Hingga saat itu tiba, iPhone bukanlah revolusi --- hanya versi lebih tipis, lebih mengilap, dan lebih mahal dari cerita lama yang sama.