Lihat ke Halaman Asli

djarot tri wardhono

Menulis apa saja, berbagi dan ikut perbaiki negeri

Lamun Ijen - Banyu Langit

Diperbarui: 2 Juli 2020   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sworo angin/ Angin sing ngreridu ati/ Ngelingake sliramu sing tak tresnani/ Pengen nangis/ Ngetokke eluh neng pipi/ Suwe ra weruh/ Senajan mung ono ngimpi

Menu yang kita pilih, pecel rawon, makanan khas ujung timur pulau Jawa. Kuliner dari masyarakat yang memang suka dengan masakan yang dicampur-campur dan memadukan cita rasa yang pas. Pecel rawon dengan rasanya masing-masing dan tak dominasi. Pecelnya di cita rasa sambal kacang dan rawon menang di rempah kluwek. Menu pilihan yang menunjukkan kesamaan dengan sifatmu, berpadu dua sifat bercampur-campur tapi tak dominan. Suapan terakhir sang pecel ini, menu malam itu, awal mula petualangan pembicaraan kita. Obrolan yang tak berpangkal, tak ada judul, tanpa tema. Ngalor ngidul bincang kita malam itu.

Adu kata, baku kalimat, di warung pecel rawon berpindah hingga Ketapang Indah. Tempat asri pinggir pantai dengan bangunan joglo. Masa lalu hingga masa depan, terus bertalu dalam bicara. Sambung menyampung, topik remeh hingga cerita berbobot. Dari hiruk pikuk, lalu lalang orang, ocehan meracau mengalahkan deburan ombak. Hingga hening suasana, diselingi suara jengkering yang mengekrik.....krik....krik....krik. Tapi energi tuk bersuara tetap terjaga. Kadang diselingi tawa, senyum beradu jadi satu. Burung hantu pun ikut menemani kami, sampai tak terasa keluruk ayam jago, menghentikan sejenak kata kita. Deburan ombang kembali terdengar disapu angin laut, Angin sing ngreridu ati.

 ***

 Ngalemo/ Ngalem neng dadaku/ Tambanono roso kangen neng atiku/ Ngalemo/ Ngalemo neng aku/ Ben ra adem kesiram udaning dalu

 Manjamu, kala itu. Merajuk, merengek dan meminta. Kamu yang aleman jadi nyaman, aman dan punya perlindungan. Awalnya hanya mandirimu yang kau punya, sepak-terjangmu juga beranimu yang kau pegang. Aral melintang pun kau terjang. Betapa perempuan yang punya mau dan punya asa, yang kutau. Tak ada hal yang kamu lewati, wanita gagah yang tak buncah. Namun ternyata ada sisi lemah yang sembunyi. Perajuk dibungkus sikap ekstrovet, alem ditutup berdikari. Itulah kamu.

Ngalemo/ Ngalemo neng aku, potongan lagu ini, tunjukkan sifatmu yang terdalam yang tak tampak kasat mata. Semua hal yang awalnya kukenal tentangmu, faktanya beda setelah dekat denganmu. Kuat ditutupi lemahmu, kerasmu benteng dari lemahmu, Candang hanya casing bimbang. Dua hal sisi mata uang yang ada pada dirimu. Aku yang akan bersandar ke tiang yang kuat malah aku yang jadi sandaran. Tambatan kuat yang kuharap bertemu dengan liak-liuk pancangan yang mudah tercabut..

***

Banyu langit/ Sing ono nduwur kayangan/ Watu gedhe/ Kalingan mendunge udan/ Telesono/ Atine wong sing kasmaran/ Setyo janji/ Seprene tansah kelingan

Ketapang, sudah direkuh. Dari perjalanan yang panjang, kita sudah sampai di ujung timur pulau ini. Kelak kelok jalan, naik dan turun hingga Ketapang. Ketapang, di persimpangan jalan. Kan seberang atau naik ke Ijen. Dua pilhan yang indah. Sepanjang malam, dari dua pilihan kemana-mana hingga kembali ke dua cabang ini. Tak ada putusan, seakan ada watu gede yang menutup percabangan ini. Semua menggantung.

Rintik hujan berbalut embun pagi. Angin meniup, dingin pun menusuk tulang hingga kelingking. Penyeberangan Ketapang di depan mata, berkabut, kapal terlihat samar di depan. Tetes hujan itu belum reda. Basah, titik air memantul di jalan. Gelombang berpedar di genangan. Waktu menunjukkan tujuh lebih tujuh, merah keabuan menuju biru keabu. Tipis mendung masing bergelayut, seperti kamu ngalem neng dadaku. Kita belum memutuskan akan kemana, kalingan mendunge udan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline