Lihat ke Halaman Asli

Ndakik-Ndakik Aktipisme Tai Ledig

Diperbarui: 25 Agustus 2020   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bu Tedjo dalam film TILIK | dok. Ravacana Film

Beberapa hari ini media sosial heboh membahas sebuah film dan kritik-kritknya; film itu berjudul TILIK.

TILIK adalah sebuah film dengan durasi yang relatif pendek, yakni 32 menit; diproduksi Racavana Films dan disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo.

Sebenarnya film ini pertama kali dirilis pada tahun 2018, lalu untuk pertama kalinya dirilis dalam kanal YouTube resmi Racavana Films pada tanggal 17 Agustus 2020. Sontak film ini terkenal dan membuat heboh. 

Ada beberapa sebab film ini akhirnya menjadi terkenal dan membuat heboh masyarakat. Pertama, cerita dalam film ini adalah kejadian yang melekat dalam kehidupan masyarakat kita sehari-hari. 

Kedua, film ini bisa ditonton lewat YouTube yang bisa diakses dengan mudah, dengan telepon genggam, maupun laptop; ditonton di rumah, maupun di perjalanan. 

Ketiga, dan ini yang membuat tidak henti-hentinya film TILIK dibahas, kritik terhadapnya dalam perspektif atau sudut pandang feminisme, yang penyampaiannya dengan bahasa yang ndakik-ndakik -- njelimet, sulit dipahami masyarakat.

Saya tidak mau menceritakan bagaimana alur cerita dalam film ini, selain terlalu panjang, menurut saya akan lebih baik bila anda yang penasaran menontonnya langsung. Kenapa? Supaya anda punya sudut pandang sendiri, atau pemaknaan sendiri atas film tersebut.

Saya cuma ingin bahas apa yang menjadi judul dari tulisan ini: "Ndakik-Ndakik Aktipisme Tai Ledig."

Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Madilog, mengatakan: "Bagi orang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan -- baik dalam pena maupun dengan mulut; perlu pustaka yang cukup."

Pustaka yang dimaksud Tan adalah bacaan, buku-buku. Kenapa? Selain memperluas pengetahuan, juga bermanfaat memperbanyak kosakata -- perbendaharaan kata. Singkatnya, koleksi atas banyaknya kata-kata dalam suatu bahasa. Dengan begitu isi pesan akan tersampaikan dengan baik dan dapat diterima, dipahami oleh si penerima pesan. Setuju atau tidaknya atas gagasan, atas pesan yang sampaikan, itu lain soal. Yang utama adalah kenali lawan bicaramu!

Tapi nyatanya tidak sedikit orang yang mendaku dirinya sebagai aktivis memiliki kesadaran akan hal ini; meskipun banyak membaca buku-buku. Faktanya adalah respon kritik dari masyarakat terhadap orang-orang ini -- yang mendaku dirinya aktipis, bahkan secara diam-diam menganggap dirinya intelek. Alih-alih merespon dengan baik, malah rakyat yang disalahkan. "Kok bangga atas ketidaktahuan? Kok bangga jadi orang yang enggak ngerti?" begitu kata para pendaku aktipis. Tai Ledig!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline