Beberapa hari terakhir, berbagai kota di Indonesia diguncang oleh demonstrasi yang berujung ricuh. Kita semua tentu sepakat bahwa menyuarakan pendapat adalah hak warga negara, tetapi ketika suara itu berubah menjadi tindakan anarkis, kerugian besar justru menimpa rakyat kecil. Kita bisa melihat sendiri bagaimana halte Transjakarta, fasilitas MRT, bahkan sejumlah sarana publik lainnya dirusak.
Sungguh ironis, sebab fasilitas itu bukanlah milik segelintir orang, melainkan milik bersama. Tempat di mana masyarakat menaruh harapan untuk bisa berangkat kerja, menjemput rezeki, dan pulang ke rumah dengan selamat.
Bayangkan jika esok pagi, seseorang yang menggantungkan hidupnya pada transportasi umum harus kebingungan karena sarana itu sudah porak-poranda akibat ulah segelintir perusuh.
Untungnya, kereta api dan commuter line, dua transportasi andalan jutaan warga masih bisa terjaga dari kerusakan. Namun, apakah kita bisa merasa tenang begitu saja? Tentu tidak. Justru di sinilah kewaspadaan kita diuji: bagaimana menjaga agar transportasi massal yang vital ini tidak menjadi korban berikutnya.
Peran Vital Kereta Api dan Commuter Line
Kereta api bukan sekadar moda transportasi. Ia adalah nadi kehidupan bagi masyarakat, terutama yang tinggal di kawasan penyangga kota besar. Data terbaru dari KAI Commuter menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Mei 2025 saja, jumlah pengguna Commuter Line di wilayah Jabodetabek mencapai 179,1 juta orang, meningkat hampir 35 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang sekitar 132,7 juta orang.
Sementara itu, sepanjang semester I tahun 2025, total volume pengguna mencapai 166,4 juta orang, naik sekitar 6,13 persen dibanding semester I–2024. Realisasi penuh sepanjang tahun 2024 sendiri menyentuh angka 374,48 juta penumpang, dengan proyeksi mencapai 383,78 juta penumpang pada 2025.
Kereta api dan commuter line punya beberapa keunggulan. Harga yang terjangkau membuat masyarakat kecil dapat mengakses transportasi murah. Kapasitasnya yang besar mampu mengangkut ribuan penumpang sekaligus dalam satu rangkaian. Jalurnya eksklusif sehingga relatif lebih tepat waktu dibanding moda lain.
Selain itu, ia lebih ramah lingkungan karena membantu mengurangi kemacetan dan polusi di jalan raya.
Bayangkan jika sarana ini rusak karena aksi vandalisme atau perusakan massal. Dampaknya bukan hanya kerugian materi, tetapi juga sosial. Pekerja terlambat masuk kerja, pedagang kehilangan kesempatan berdagang, bahkan perekonomian kota bisa terguncang.